NL - 10

93.5K 7.6K 373
                                    

"Zii, sini mandi dulu biar wangi."

Pagi hari di kediaman Addison sudah diramaikan oleh teriakan Rara yang sedang mengejar-ngejar kucing kesayangannya. Zii berlarian di dalam rumah, menghindari Rara yang ingin memandikannya.

"Ihh, kamu kok nakal?" Kesal Rara, karena tidak bisa menangkap zii dari tadi.

Di tangga terlihat Alan sedang berjalan santai, tangannya menyisir rambut hitam lebat miliknya ke belakang dengan muka sok ganteng.

"KAKAK, TANGKEP ZII," teriak Rara.

Zii berlari ke arah tangga, Alan yang mendengar teriakkan adiknya otomatis merentangkan tangannya, padahal Ia tidak tau apa dan siapa itu zii. Mata Alan menangkap seekor kucing dengan mata besar tengah berlari cepat ke arah tangga, dimana Ia sedang berdiri.

"OH MY GOD," kaget Alan.

Alan memeluk pagar yang ada di sisi tangga, demi apa pun sekarang jantungnya berdegup sangat kencang, tangannya yang memeluk pagar tangga gemetar. Kucing itu berlari ke arahnya dengan kecepatan penuh ditambah muka yang sangat menyeramkan menurut Alan.

"Ihh kok Kakak gak tangkep sih, padahal tadi ada di depan Kakak, aku udah dari tadi kejar zii tapi susah ditangkep," gerutu Rara yang sudah ada di hadapan Alan.

Kesal karena zii tidak ditangkap Alan, Rara menampilkan wajah cemberutnya. Padahal kan Alan bisa saja langsung menangkap zii, pikirnya.

"Hah?"

Alan merasa linglung. Ia masih syok dengan jelmaan kucing tadi, sekarang adiknya sedang merajuk padanya. Harusnya kan adiknya ini khawatir atau paling tidak menanyakan keadannya. Alan melepas pelukannya pada pager.

"Eh tunggu."

Rara melewati Alan begitu saja, Ia masih harus mengejar kucingnya yang belum mandi dari kemarin. Karena kemarin Ia terlalu sibuk berbelanja dengan Nadin.

"Jangan lari-lari Ra!" Sahut Bara

Matanya tak sengaja melihat Rara berlari menaiki anak tangga, saat Bara akan ke dapur ngambil minum.

Rara tak menghiraukan ucapan Bara, Ia melanjutkan langkahnya. Saat akan sampai di puncak tangga, tiba-tiba muncul Rio dengan zii di gendongannya.

Hosh...hosh...

Rara mengatur nafasnya yang terasa berat. Lumayan pagi ini ia sudah diajak berolahraga oleh zii.

"Cape Ra?" Tanya Rio.

Rio berjalan mendekati Rara, lalu merangkulnya mengajak Rara turun dari tangga ke lantai satu. Alan masih berdiri di bawah tangga, Bara juga masih ada di situ.

"Cape banget," jawab Rara.

Mendengar ucapan lesu Rara, Bara langsung menggendong Rara, tangannya Ia selipkan di leher dan lutut Rara. Refleks Rara mengalungkan tangannya ke leher Bara.

Tak lupa, Rio dan Alan mengikuti mereka ke ruang keluarga.

"Ehh kok digendong. Aku berat tau," kaget Rara.

Bara terkekeh. "Berat apanya, lain kali makan yang banyak biar berat."

Rara cemberut, Bara mendudukkan Rara di sofa, Ia ikut duduk di samping Rara sambil mengusap peluh keringat di dahi Rara.

"Ini kucing kamu?" Tanya Rio melirik kucing yang ada digendongannya.

Rara menatap zii, lalu mengangguk. "Iya. Tadi dia lari-lari gak mau dimandiin, jadi aku kejar."

"Kanapa harus lari?" Sahut Bara datar.

Rio menyeringai, "Tuh, tadi Rara minta bantuan ke Alan buat tangkep kucing ini. Tapi Alan malah meluk pagar, jadi Rara lari-larian deh. Apalagi Rara larinya sambil naik tangga, gimana kalau jatuh coba," jelas Rio.

Rio menatap dengan pandangan mengejek pada Alan. Wajah Alan sudah memerah menahan emosi. Rio selalu mengadukan dirinya pada Bara, yang lebih menyebalkan adalah Rio selalu melebih-lebihkannya.

Mata tajam Bara langsung menghunus mata Alan. Terlihat jika Bara sedang menahan kemarahannya, Alan gelagapan, demi apa pun kakaknya Bara saat ini seperti akan menerkamnya layaknya singa yang sedang menunggu mangsa.

"Ehh gak gitu kok. Rara emang emang minta bantuan, tapi aku gak tau kalau zii itu kucing, aku kaget jadi gak tangkep kucing jelek itu," bela Alan pada dirinya sendiri.

Mendengar kucing kesayangannya dijelek-jelekkan, Rara langsung menampilkan raut wajah tak suka.

Tangan Rara menarik-narik ujung kaos yang digunakan Bara. Menyadari itu Bara menoleh pada Rara.

"Kenapa?"

"Kak Alan bilang zii jelek," rajuk Rara.

Rio semakin puas melihat wajah pias Alan. Alan menepuk bibirnya yang suka tak tau tempat dan waktu itu menggunakan tangan kanannya. Mampus, sekarang Alan benar-benar menciut.

"Bukan gitu maksud Kakak Ra, tapi-"

"Alah alesan. Jelas-jelas tadi kamu bilang zii jelekkan, zii itu lucu ya gak Ra?" Potong Rio.

Rara menganggukkan kepalanya, "Iya zii lucu, Kak Alan jangan bully zii," marah Rara yang malah terlihat lucu.

"Kunci motor kamu simpan di meja kerja Kakak," celetuk Bara dengan nada tegas tak terbantah.

Duarrr.

Dunia Alan serasa runtuh, Bara selalu menghukum dirinya dengan menyita motor kesayangan Alan.

"No! Aku gak mau. Kakak kok jahat mau pisahin aku sama isabel, aku tanpa isabel itu kayak bubur tanpa ayam."

Alan merajuk, isabel adalah panggilan Alan untuk motor kesayangannya. Ia sangat merawat motor tersebut, Ia tak memperbolehkan motornya disentuh siapa pun.

"Dih! Motor kok dikasih nama, kaya manusia aja. Dasar gak waras," ejek Rio.

Rio duduk di sebelah Rara, memindahkan zii ke pangkuan Rara, Ia menyenderkan tubuhnya di sofa, menikmati hidup Alan yang nelangsa, siapa suruh Alan selalu menjelek-jelekkan dirinya di belakang Rio.

"Diem! Kamu gak berhak ya hina isabelku," marah Alan.

Bara memutar bola matanya malas, Alan sudah memulai drama murahannya. Ia lebih memilih mengabaikan rengekan Alan.

"Bener-bener gila nih bocah," sahut Rio.

"Rio!" Tegur Bara pada Rio.

Rio menoleh pada Bara lalu cengengesan, Ia lupa jika di sebelahnya ada adik polosnya.

"Kakak kok kasih nama motornya?" Tanya Rara.

"Ya suka-suka aku dong," jawab Alan seadanya.

Alan sekarang sudah sangat kesal, Ia tak sadar dengan apa yang diucapkannya, Ia kira Rio yang bertanya jadi ngegas.

Brukk...

Bantal sofa yang berukuran besar dan keras mendarat kasar di wajah Alan, bukan hanya satu tapi dua. Mendengar balasan yang dilayangkan Alan pada Rara, refleks Bara dan Rio melempar bantal tersebut kepada Alan.

"Wadawww..." ringis Alan keras.

Tangannya mengusap wajahnya yang sakit plus perih. Benar-benar kakaknya itu, sepertinya mereka tak menganggap dirinya sebagai adik tapi samsak.

Rara kaget, Ia meringis melihat Alan dilempari bantal, Ia ingin menghampiri Alan tapi pinggangnya dipeluk oleh bara, jadi Ia tak bisa bergerak.

"APA-APAAN?" sulut Alan.

Alan melotot, tangannya mengepal, kesabarannya hampir habis. Sepertinya Ia memang bukan anggota keluarga ini.

"Apa, Berani?" Tanya Bara santai.

"Hahaha, ya enggak atuh. Aku kan adik yang baik, jadi gak berani. Takut nanti kualat," ujar Alan bodoh.

Raut kesal Alan digantikan wajah bodohnya. Ia cengengesan, mana berani dia melawan Bara, bisa-bisa nanti Ia tinggal nama.

"Kakak gapapa?" Tanya Rara khawatir.

Alan menolehkan kepalanya pada Rara, "Gapapa kok, ini mah kecil."

"Paling nanti nangis dipojokan Ra," ejek Rio.

Ingin sekali Ia terbahak melihat ketidak berdayaan Alan. Siapa suruh dia selalu menganggu dirinya. Jadilah sekarang Ia ikut mengompori Bara agar menghukum Alan.

"Hellow, aku cowok kuat gak mungkin nangis," ujar Alan songong.

"Jam 11, kalau kunci motor kamu belum ada di meja kerja Kakak, kamu taukan bakal gimana?" Celetuk Bara.

Bulu kuduk Alan meremang, Bara memang seperti monster. Alah hanya menganggukkan kepalanya pasrah, mau melawan juga tak berani.

"Maaf ya gara-gara aku Kakak dihukum Kak Bara," ucap Rara merasa tak enak.

Rara merasa jika semua yang menimpa Alan karena dirinya. Ia tak ingin kakaknya itu menjadi tak suka padanya, padahal itu hanya pemikiran dangkalnya.

"Enggak kok, bukan salah kamu. Tapi ini semua salah kucing jelek itu, dasar pesek."

Alan melampiaskan kekesalannya pada zii, lihatlah sekarang kucing jelek itu menatap Alan dengan pandangan mengejek menurutnya.

"Ihh. Kok Kakak bilang zii jelek lagi! Liat zii itu lucu, bulunya bagus."

Tak terima zii dikatai jelek, Rara jadi kesal kepada Alan selalu membully kucingnya. Rio dan Bara menatap tajam Alan, berani-beraninya dia membuat adik kecil mereka kesal.

"Iya deh. Tapi liat tuh si zii ngejek Kakak."

Alan sangat tidak menyukai kucing, menurutnya mereka melelahkan. Belum lagi tatapan malasnya yang seolah-olah kucing itu majikan sedangkan dia peliharaan.

"Enggak kok. Yaudah, biar Kakak sama zii akur. Kakak mandiin zii sekarang!" Putus Rara mutlak, dengan penuh penekanan.

"APA?"

Alan melongo, Ia tak percaya Rara menyuruhnya memandikan seekor kucing. Kenapa gak mandi sendiri coba tuh kucing, emang ngelunjak.

Bara terkekeh, ternyata adiknya bisa marah juga. Menurut Bara ketika Rara marah bukannya menyeramkan, tapi malah terlihat menggemaskan. Sedangkan Rio, Ia sudah terbahak. Rio sudah tak kuasa menahan gebrakan tawa yang dari tadi ingin keluar.

***
.
.
.

New Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang