NL - 15

73.7K 5.9K 128
                                    

Hari ini Ica tidak masuk sekolah karena sakit, dari tadi pagi Rara terus mencoba menghubungi sahabatnya itu, tapi nihil, Ica tak membalas pesan dan mengangkat telponnya.

Rara sangat khawatir, sebenarnya Ia ingin segera pergi ke rumah Ica untuk menjenguknya, tapi Ia tak tahu alamat Ica.

Bahkan Rara sampai tak fokus belajar, tapi itu tidak akan berpengaruh padanya karena Ia memang sudah terlahir pintar.

"Rara, tolong bawakan buku ini ke perpustakaan."

Bu Rani a.k.a guru fisika Rara, menyuruh Rara untuk mengembalikkan tiga buah buku paket fisika ke perpustakaan, karena hari ini Rara ada jadwal piket, jadi Bu Rani memilihnya.

Rara menatap Bu Rani, Ia mengangguk sambil tersenyum sopan. Lalu berjalan ke depan kelas dimana meja guru berada untuk mengambil buku paketnya.

"Kamu mau diantar?" Tanya Bu Rani.

Kepala Rara menggeleng, di kelas ini Ia hanya akrab dengan Ica, walaupun yang lainnya terlihat baik, tapi Rara tau, jika di belakangnya mereka sering membicarakan dirinya.

Lagi pula Ia hanya perlu mengembalikkan tiga buah buku paket, jadi Ia masih mampu.

"Gapapa Bu, biar saya sendiri aja. Kalau begitu permisi Bu."

Rara melenggang pergi meninggalkan kelas dengan buku di pelukannya, koridor sepi karena jam pelajaran belum selesai.

Kakinya berjalan pelan, sesekali Rara menengok ke jendela kelas lain dimana mereka terlihat masih belajar.

Bruk....

Buku yang Rara pegang jatuh begitu saja di lantai, bahunya sedikit sakit karena di tabrak seseorang.

Kepala Rara menengadah melihat siapa pelaku yang sudah menabrak dirinya dengan sengaja.

Di depannya ada Gisel, Mega, dan Vani. Terdengar helaan nafas dari bibir Rara. Mereka pasti ingin mengganggunya, tanpa menghiraukan mereka bertiga Rara kembali memungut buku paket tersebut.

"Gue liat lo masih deketin Alan," desis Gisel.

Gisel berdiri dengan angkuh, dagunya terangkat, matanya memandang remeh kepada Rara, tak lupa tangannya yang bersidekap dada. Mega dan Vani hanya diam di belakang Gisel, bagai dayang sang ratu.

Rara tak menjawab, Ia tak ingin cari keributan di sekolah, apalagi Ia masih baru di sini. Rara menepuk jilid buku tersebut sedikit, takut ada kotoran yang menempel di sana.

Vani maju selangkah, lalu berjongkok menjajarkan tubuhnya dengan Rara yang masih terduduk di lantai.

"Lo gak usah sok cantik, cuma kita bertiga yang pantas deket sama Alan, Leon, dan Aldo," ucap Vani dengan nada sinis.

Rara harus berani melawan mereka, jika tidak maka mereka bertiga akan semakin mengganggunya, Ia bangkit dengan buku di tangannya, lalu menatap mereka bergantian.

"Maksud kalian apa? Kak Alan Kakak aku, kenapa kalian ngelarang aku deket sama Kak Alan."

Mereka bertiga tertawa tak percaya dengan apa yang baru saja Rara katakan. Yang benar saja, selama mereka sekolah di sini, tak ada desas-desus yang mengatakan jika Alan memiliki seorang adik perempuan.

Mereka berpikir jika Rara hanya sedang mencari alasan saja.

"Lo pikir kita percaya?" Sewot Mega jengah.

Rara menghembuskan nafasnya lelah, Ia harus segera mengembalikkan buku ini, tapi mereka malah menghalangi jalannya.

"Terserah mau kalian. Yang jelas Kak Alan itu Kakak aku."

Rara melangkahkan kakinya berniat meninggalkan mereka bertiga. Tapi, baru datu langkah Gisel langsung mencengkram pergelangan Rara kuat.

"Tunggu!" Sentak Gisel.

Rara kembali terdiam saat lengannya dicengkeram dengan lumayan keras oleh Gisel, Ia berusaha melepaskannya tapi Gisel malah semakin menekan tangannya.

Dari kejauhan terlihat Leon sedang berjalan santai ke arah mereka berempat, matanya memicing memperhatikan mereka.

Menyadari siapa yang sedang dibully, sontak saja Leon membulatkan matanya kaget, kakinya melangkah cepat mendekati mereka.

"APA-APAAN LO GISEL?" bentak Leon.

Tangan Leon melepaskan cengkraman Gisel di pergelangan tangan Rara. Ia menatap mereka bertiga dengan tajam. Gisel, Mega, dan Vani gelagapan, muka mereka sudah memerah.

"A-pa?" Gagap Gisel.

Entah mengapa melihat Rara diperlakukan seperti itu, membuah amarah Leon meluap ingin keluar.

"Kok kamu belain dia sih?" Kesal Mega.

Selama ini mega sudah memperjuangkan Leon, Ia bahkan sudah melakukan segala macan cara agar Leon bisa melihat cintanya. Bukannya mendapat perhatian Leon, Mega malah mendapat kebencian Leon.

"Berani kalian ganggu Rara lagi, liat aja apa yang bakal gue lakuin. Lo semua taukan gue bisa lakuin apa?" Ancam Leon.

Mereka bertiga menciut, keberanian mereka menghilang entah kemana setelah melihat amarah yang terpancar di mata Leon yang menatap mereka dingin.

"Tapi dia yang duluan ganggu kita," sulut Vani tak terima.

Leon mendengus jengah, mereka pikir dia bodoh, Leon tau betul jika mereka bertiga lah yang sudah mencari gara-gara dengan Rara.

"Lo pikir gue percaya?" Datar Leon.

"Kamu harus percaya sama aku Leon," desak Mega.

Amarah Mega sudah ada di ubun-ubun, melihat Leon pria yang disukainya membela Rara. Tangannya sudah mengepal menahan amarah.

Leon memutarkan bola matanya malas. Ia sudah muak dengan Mega yang terus saja mendekatinya.

"Ayo Ra."

Leon menarik lengan Rara meninggalkan Gisel, Mega, dan Vani yang masih kesal. Baru kali ini mereka melihat Leon sangat marah.

Rara mengikuti langkah Leon yang besar, Ia bahkan mengerahkan seluruh tenaganya agar bisa menyamakan langkahnya dengan Leon.

"Ehh, tunggu Kak."

Saat tiba di belokan menuju kelas Rara kembali, Rara menghentikan langkahnya, Ia ingat jika Ia harus ke perpustakaan untuk mengembalikan buku.

"Kenapa? Eh maaf ya."

Menyadari tangannya yang masih menggenggam Rara, Leon langsung melepasnya, takut Rara merasa tak nyaman.

Rara tersenyum. "Gapapa kok, makasih ya udah nolong aku. Maaf juga karena Kakak jadi keseret masalah aku," ucap Rara dengan nada menyesal.

Leon membalas senyuman Rara, "It's oke Ra, gue seneng bisa bantu lo."

"Mmm, t-tapi aku mau minta tolong boleh?" Gugup Rara.

Kening Leon mengerut, kenapa mendadak Rara berbicara terbata-bata padanya.

"Minta tolong apa?"

"Tolong ya, jangan kasih tau Kak Alan kejadian tadi, ak-"

"Kenapa?" Potong Leon cepat.

"Aku gak mau buat Kak Alan khawatir," ucap Rara.

"Tapi Alan berhak tau." Kekeuh Leon.

Leon merasa, jika Ia harus memberitahu Alan tentang masalah ini, Ia tahu jika Gisel tak akan berhenti menganggu Rara sebelum Gisel merasa puas.

"Kakak jangan khawatir, nanti aku sendiri yang kasih tau Kak Alan, aku mohon ya," bujuk Rara.

Rara menatap dengan puppy eyes-nya ke arah Leon, Ia hanya tak ingin membuat kakaknya khawatir, selama Ia bisa menanganinya sendiri, maka Ia akan menanganinya dan jika sudah melebihi batas maka nanti Ia akan melapor.

Leon tak kuasa melihat tatapan polos sekaligus melas Rara. Ia menghembuskan nafasnya kasar. Kenapa Ia jadi lemah seperti ini.

"Oke, tapi kalau gue liat mereka ganggu lo lagi, gue gak bisa nahan buat kasih tau Alan."

Rara tersenyum manis mendengar jawaban Leon, ternyata sahabat kakaknya itu sangat baik, tak seperti rumor yang beredar di kalangan siswa jika Leon itu orang yang kasar dan playboy.

"Makasih ya Kak," Rara menepuk keningnya, "aduh aku lupa , aku harus ke perpustakaan buat ngembaliin buku. Kalau gitu aku duluan ya, bye Kak."

Tangan Rara melambai kepada Leon, kakinya melangkah menjauhi Leon yang masih berdiri di tempatnya. Dengan ragu Leon membalas lambaian tangan Rara sebentar.


***


Sepulang sekolah Rara langsung pergi ke kamarnya, mood nya sedang jelek, untung saja semua orang belum pulang jadi Ia bisa mengurung diri di kamar.

Pandangan Rara tak lepas dari ponselnya, Ia masih menunggu kabar dari Ica, dari pagi Ica sama sekali tidak membalas pesan yang dikirimkan Rara.

Drtt...

Menyadari ponselnya bergetar, Rara langsung menggeser tombol hijau yang tertera di layar, lalu menempelkan benda pipih tersebut di telinga.

"Hallo?"

"Hai."

Rara menghembuskan nafas lega setelah mendengar suara Ica meskipun suaranya sedikit sengau. Ternyata temannya ini beneran sakit.

"Kamu kok gak kabarin aku, kalau kamu sakit?"

"Maaf ya, Mamah aku gak bolehin aku main hp, katanya nanti sakit kepala aku bakal nambah. Padahal enggak."

"Oh gitu. Tapi kamu udah gapapa kan?"

"Gapapa kok, cuma suara aku aja yang masih aneh."

"Syukur kalau gitu. Cepet sembuh ya."

Di seberang sana terdengar kekehan kecil Ica, Ia merasa terhibur setelah menelpon sahabatnya.

"Amin, kamu kangen aku ya," goda Ica.

"Iyaaaa. Aku di sekolah gak ada temen, jadi sama Kak Alan terus ihh bosen."

"Hahaha, maaf ya aku baru nelpon kamu. Sekarang kamu gak usah khawatir, aku baik-baik aja kok."

"Iyaa, aku tadinya mau jenguk kamu, tapi gak tau alamatnya hehe."

"Masa? Gapapa aku besok sekolah kok."

"Serius?"

"Iya Rara ku sayang."

"Yeay," sorak Rara senang.

"Di sekolah gak ada yang ganggu kamu kan?" Tanya Ica tiba-tiba.

"Hah?"

"Pasti ada ya?"

"Enggak kok, eh Mamah panggil aku. Aku tutup dulu ya telponnya."

Tutt....

Rara mematikan teleponnya sepihak dengan Ica, Ia tidak pandai berbohong, jadi Ia lebih memilih mematikannya.

Rara berbaring di ranjang, tangannya memegang dada, Tiba-tiba jantungnya terasa cepat. Pasti ini karena Ia merasa gugup berbohong kepada Ica.

Dalam hati Ia berdoa agar hidupnya penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian, tak ada lagi masalah yang akan menerpa hidupnya.

***
.
.
.
.

New Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang