Semua orang sudah pergi menjalankan aktivitasnya masing-masing. Sekarang Rara dan Nadin sedang berada di butik milik sahabat Nadin. Di butik tersebut ada berbagai model pakaian mulai dari baju pengantin, gaun, formal, dan baju casual.
Nadin sibuk kesana-kemari mencari pakaian yang cocok untuk Rara, berbeda dengan Rara yang tidak terbiasa belanja, Ia hanya duduk tenang di kursi yang memang diperuntukkan pelanggan.
Seorang pelayan menghampiri Rara dengan segelas jus alpukat tak lupa brownis coklat. Makanan itu tidak di pesan, melainkan di berikan oleh sahabat Nadin, yaitu Hana.
"Sayang makan brownis nya dong, enak kok," ucap Hana, yang melihat Rara hanya memandangi brownis tersebut.
"Ehh, iya Tan," jawab Rara.
Tangan Rara mulai menyendokkan brownis tersebut lalu memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya sesuai dengan selera Rara, Hana memandang Rara kagum, gadis itu sangat cantik dan baik menurut Hana.
"Enak gak?"
"Enak banget, makasih ya tante," jawab Rara senang.
"Sama-sama. Tante seneng kamu suka."
Hana dan Rara mengobrol banyak hal, Rara juga menceritakan masa lalunya yang sempat terpisah dengan keluarga kandungnya. Hana marasa prihatin, gadis selugu Rara ternyata pernah mengalami hal yang tidak mengenakan.
"RARA," teriak Nadin memanggil Rara.
Nadin berjalan terpogoh-pogoh menuju tempat dimana Rara berada, Rara sempat meringis melihat baju yang ada di pelukan mamahnya, belum lagi pelayan di belakang Nadin membawa baju yang sama banyaknya.
"Kenapa Mah?"
"Sini coba dulu bajunya," ujar Nadin santai.
"Se-banyak itu?"
Membayangkannya juga sudah membuat badan Rara terasa pegal, padahal baju di kamarnya sudah banyak, apa Nadin tak salah ingin memberikan baju baru pada Rara sebanyak ini, pikirnya.
"Iya dong."
"Aduh Din, masa iya Rara harus nyobain semua itu. Udah gak usah, kasian tau. Bawa aja semua bajunya." Hana mengutarakan pendapatnya setelah menyadari raut enggan Rara.
Dalam hati Rara mengiyakan apa yang diusulkan Hana, karena mau menolak langsung Ia merasa tak enak.
"Oh iya ya. Kenapa aku gak kepikiran."
Nadin menepuk keningnya pelan, diiringi kekehan kecil. Ia menertawakan kekonyolan dirinya sendiri.
"Tapi itu kebanyakan Mah, beli dua baju aja," celetuk Rara polos.
Kening Nadin dan Hana mengerut heran, "Kenapa sayang? Kamu gak suka ya bajunya? Padahal itu keluaran terbaru loh. Ada juga yang khusus Tante keluarin buat kamu," heran Hana.
Baru kali ini Hana melihat seorang gadis yang menolak belanja, padahal dimana-mana semua gadis akan berlomba-lomba untuk menghabiskan uang untuk shopping, apalagi jika itu gratis.
"Aduh anu, bukannya gitu Tante. Rara cuma sayang sama uangnya pasti mahal kan?"
Mendengar ucapan Rara yang kelewat polos, diam-diam Nadin dan Hana tersenyum geli. Nadin memegang bahu Rara.
"Gak usah khawatir. Papah kamu banyak uangnya, Mamah juga kan mau belanjain anak perempuan Mamah satu-satunya ini," papar Nadin santai.
Nadin ingin memberikan semua hal kepada Rara yang selama ini belum Rara rasakan. Ia dan keluarganya sudah tau bagaimana kehidupan Rara yang dulu dari orang kepercayaan mereka. Kalau bisa Nadin ingin memberikan semua isi dunia pada putrinya.
"Bener kata Mamah kamu, Papah kamu banyak uangnya," kekeh Hana gemas.
Rara hanya tersenyum malu, lalu mengangguk menyetujui Nadin yang ingin membelikan Rara semua baju itu.
"Oh iya, Tante mau ngasih kamu gaun yang cantik kayak orangnya. Tunggu ya," ucap Hana semangat.
Hana pergi ke ruang khusus miliknya, tempat baju-baju teratas di butiknya, banyak yang ingin dan melihat semua koleksi baju rancangan Hana, tapi Ia belum mau memamerkan hasil karyanya.
Hana keluar dengan sebuah gaun berwarna hitam selutut tanpa lengan yang sangat simpel dan elegan, tapi terlihat mewah. Ia berjalan dengan senyuman bangga di wajahnya.
Rara dan Nadin merasa takjub melihat gaun di depannya, Rara langsung jatuh cinta pada gaun tersebut, meskipun punggungnya sedikit terbuka.
"Nih, suka gak? Mau coba dulu?" Tanya Hana.
Rara melirik Nadin dengan ekor matanya meminta persetujuan mamahnya. Nadin mengangguk, Rara pun pergi ke ruang ganti untuk mencoba gaun tersebut.
"MAMAH NADIN YANG CANTIK."
Nadin terlonjak kaget, hampir saja Ia terjungkal ke belakang jika tangannya tak langsung memegang kursi. Matanya menoleh ke asal suara yang memekikan telinga. Di ambang pintu butik terlihat Alan sedang mengatur nafasnya yang terasa berat akibat berlari.
Alan berjalan cepat menghampiri Nadin, memeluk dan mencium mamahnya sebentar sebelum celingak-celinguk seperti mencari sesuatu.
"Aww..." ringis Alan.
Dengan kesal Nadin menjewer telinga Alan, matanya melotot melihat kelakuan anaknya yang membuat dirinya malu di hadapan sahabatnya.
Berbanding terbalik dengan semua pelayan di butik yang memandang takjub ke arah Alan akan pahatan Tuhan yang sangat sempurna.
"Mah lepas Mah, nanti kuping aku copot. Ya Allah maafkan Ibuku Ya Allah," gerutu Alan.
Bibir Alan terus mengeluarkan ringisan, karena Nadin belum juga melepas tangannya di telinga Alan, Ia yakin jika telinganya akan memerah setelah ini.
Hana terbahak melihat kelakuan absurd putra sahabatnya, ini sudah tak asing bagi Hana, Ia sudah sering melihat kelakuan ajaib Alan.
"Kenapa teriak-teriak? Malu-maluin!"
Alan mendelik tak terima, "Mamah kok gitu?"
"Apa? Berani kamu sama Mamah hah?" Murka Nadin.
Sontak Alan langsung menggeleng mendengar nada tak santai sang ibu. Kalau sudah begini, nanti di rumah mamahnya pasti mengadu pada papahnya, ujungnya motor kesayangan Alan pasti disita.
"Ya enggak atuh kanjeng ratu," sungkem Alan.
"Kamu ini lucu banget sih Lan," kekeh Hana yang sesekali masih tertawa.
"Hehe Tante kok tau aku lucu?" Cengir Alan tak tau malu.
Semua pelayan di butik histeris melihat ketampanan Alan, meskipun mereka sudah sering melihat Alan saat mengantar mamahnya ke butik, tetap saja mereka terpesona.
"Kamu narsih banget ih," gidik Nadin.
"Suka-suka aku dong," ucap Alan sambil menyisir rambutnya ke belakang.
"Fiks Mamah bilangin Papah kalau kamu nakal."
"Yah kok gitu sih. Mamah gak seru ah main aduan ke Papah."
"Suka-suka Mamah dong."
Nadin membalikkan kata-kata Alan, membuat Alan kesal, tapi beda dengan wajahnya yang menampilkan senyuman. Kalau Alan menampilkan wajah sangarnya, bisa-bisa Alan ditampol.
"Dahlah. Rara mana Mah?" Tanya Alan.
Dari tadi Alan tak menemukan sosok adiknya yang cantik, tadi saat menelpon Nadin untuk menanyakan keadaan Rara, Nadin menjawab jika Ia sedang ada di butik. Alhasil pulang sekolah Alan mampir terlebih dahulu ke sini.
"Tuh," tunjuk Nadin pada Rara yang kebetulan keluar dari ruang ganti.
Semua orang menatap Rara kagum, gaun hitam elegant itu sangat cocok di pakai Rara, kulit putih Rara sangat kontras dengan warna gaun tersebut.
"Wow... amazing," kagum Alan.
"Cantik banget kamu sayang," puji Nadin.
"Waah, gak salah nih aku kasih gaun ini buat dipake Rara," ujar Hana heboh, Ia meneliti seluruh tubuh Rara.
Rara yang dipuji sedemikian rupa merasa malu, pipinya sudah memerah seperti tomat, tangannya saling meremas gugup.
"Makasih," ucap Rara malu.
"Eitss, apa-apaan ini? Kok punggungnya bolong?" Sewot Alan.
Mata Alan melotot melihat punggung terbuka Rara. Ia tak terima adiknya memakai baju kurang bahan seperti ini, walau Rara terlihat cantik.
"Emang kenapa Kak? Bagus kok bajunya," heran Rara.
"Gak boleh sayang, kamu gak boleh pake baju kayak ini!" Tegas Alan.
"Aku jelek ya?" Tanya Rara sedih.
Rara pikir Alan tak menyukainya karena Ia tak pantas memakai baju mahal. Raut senang Rara sekarang digantikan dengan raut sedih.
Buru-buru Alan menggeleng. "Bukan gitu, kamu cantik banget. Kakak cuma gak suka bajunya, keseksian."
Hana yang sedari tadi memperhatikan pun angkat bicara. "Apa sih Lan, ini tuh baju model sekarang, ini lagi tren."
"Iya ihh, kamu mah. Adiknya cantik gini juga," sahut Nadin.
Alan memutar bola matanya malas. Lihat saja nanti jika kakak-kakaknya melihat penampilan Rara yang sekarang, mereka pasti lebih marah dari dirinya.
"Tapi Rara masih kecil, gak boleh pake yang kayak begini," keukeuh Alan.
"Yaudah deh Tante, aku gak mau baju ini," ujar Rara tak enak.
Alan menyadari raut sedih adiknya, Ia menghela nafas pasrah. Pasti mamahnya sudah meracuni adiknya, mana ada adiknya yang polos ini sekarang menyukai baju kurang bahan seperti itu.
"Gapapa, ini kan Tante yang kasih. Kamu terima ya, kalau engga nanti Tante sedih," bujuk Hana.
Rara bingung, Ia tak mau membuat Hana sedih, terpaksa Ia mengangguk saja, Ia langsung memeluk Hana hangat. Mau pakai atu pun tidak biarlah ini jadi urusan nanti.
"Makasih ya Tante," ucap Rara tulus.
Hana membalas pelukan Rara. "Sama-sama,"
"Yaudah, kita ambil ya. Oh iya ini semua baju yang ada di meja sama kursi kita ambil juga tolong cek," titah Nadin pada salah satu pelayan.
Alan sempat melongo melihat semua baju yang Nadin tunjuk, tapi Ia kembali ke wajah semula, ingat jika mamahnya itu memang kalau sekali belanja suka segunung.
Pelayan tersebut membawa semua baju ke kasir. Rara mengganti bajunya kembali. Alan dengan sabar menunggu mamah dan adiknya.
Selesai dari butik, mereka bertiga mampir terlebih dahulu ke restoran untuk mengisi perut mereka yang kosong. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Hari sudah hampir gelap.
Alan mengambil ponselnya di saku seragam, Ia mengaktifkan ponselnya yang mati. Ternyata baterai ponselnya hampir habis. Saat ponselnya menyala matanya membola.
"Shit, mampus!" Umpat Alan.
Rara dan Nadin menoleh kepada Alan, Rara menatap heran pada kakaknya sedangkan Nadin menatap Alan dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Kenapa Kak?" Tanya Rara.
"Kenapa?" Tanya Nadin.
"Kak Bara nelpon aku 42 kali."***
KAMU SEDANG MEMBACA
New Life [END]
ChickLitSeluruh Chapter tersedia [CERITA SUDAH TAMAT] *** Aurora yang sering disapa Rara dipertemukan kembali dengan keluarga kandungnya. Ternyata Ia memiliki tiga Kakak laki-laki yang sangat possessive. Apakah Rara...