NL - 13

91.8K 6.9K 139
                                    

Rara dan Alan sudah pulang sekolah dari tiga jam yang lalu. Sekarang langit sudah mulai gelap, jam sudah menunjukkan pukul enam.

Saat ini, Rara dan Alan sedang menonton di ruang keluarga, semua orang belum pulang. Di rumah hanya ada Rara, Alan, dan pelayan.

Televisi menampilkan film disney yaitu, Cinderella. Rara sangat menyukai film berbau princes. Hampir semua film disney sudah ditonton Rara. Sedangkan Alan, Ia sebenarnya malas menonton film itu, tapi Rara minta ditemani karena takut.

Jari-jari Alan sibuk mengetik di ponselnya, Ia sedang saling mengirim pesan di grup chat yang berisikan Alan, Leon, dan Aldo.

Sebenarnya mereka berdua mengajak Alan nongkrong di tempat biasa mereka main, tapi karena di rumah tidak ada siapa-siapa, jadi Ia lebih memilih menemani adiknya.

Alan tidak ingin adiknya tiba-tiba menghilang. Ia juga takut ada orang jahat datang ke rumahnya saat Rara sendiri, padahal di gerbang rumah ada dua satpam yang berjaga.

"Kakak, princes-nya cantik ya," ucap Rara.

Mata Rara fokus menatap film kesukaannya, sesekali Ia memasukkan keripik keju milik Alan ke mulutnya.

"Cantik kan kamu," jawab Alan yang pandangannya tak lepas dari layar ponsel.

"Ihh, gombal," kekeh Rara.

Alan menautkan kedua alisnya. Dari mana adiknya ini tau kata gombal, perasaan Ia tak pernah bicara seperti itu.

"Kamu tau gombal Ra?"

"Tau dong, tadi di sekolah banyak yang bilang aku cantik, terus kata Ica mereka cuma gombal, terus pas aku nanya gombal itu apa, Ica bilang itu artinya kasih pujian," jelas Rara panjang lebar.

Alan mendengus. Pasti teman Rara yang bernama Ica itu akan memberikan pengaruh buruk pada adiknya.

"Nanti kalau di sekolah ada yang gombalin kamu, kasih tau Kakak," tegas Alan.

Rara mengalihkan pandangannya kepada Alan. "Kenapa harus kasih tau Kakak?"

"Ya, kasih tau aja."

Rara hanya mengangguk kecil sebagai jawabannya, Ia terlalu terhanyut menonton.

"Shit."

"Kenapa Kak?" Kaget Rara.

Keripik yang ada di tangan Rara jatuh mengenai karpet saking kagetnya.

"Ehh."

Alan keceplosan, Ia langsung menepuk pelan bibirnya menggunakan kedua tangan, Ia tidak boleh menodai otak suci Rara. Apalagi jika orang rumah yang lain tahu, bisa gawat!

Rara itu berlian yang harus selalu di jaga agar tetap kinclong, pikir Alan. Lebay memang.

"Enggak kok hehe," cengengesan Alan.

Di dalam hati Alan mengutuk Aldo yang mengejek dirinya dengan sebutan monyet di grup chat, ditambah Leon menertawakannya. Jadilah Alan keceplosan mengumpat, untung disini tidak ada orang lain.

"Shit itu apa Kak?" Tanya Rara tiba-tiba.

Beberapa hari lalu, saat makan di restoran Alan juga mengatakan hal yang sama 'shit', waktu itu ia tak sempat menanyakan apa artinya.

Apakah kata shit adalah kata favorit Alan? pikir Rara.

"Hah? Aduhh, perut Kakak sakit Ra. Kakak ke toilet dulu ya."

Alan lari terbirit-birit sambil memegang perutnya. Itu hanya alasan dirinya saja agar terhindar dari pertanyaan maut Rara. Masa iya dia akan bilang jika shit itu kata kasar.

Rara memandangi kepergian Alan, Ia sedikit khawatir, tapi itu semua langsung teralihkan oleh nyanyian Cinderella dengan lawan mainnya. Rara kembali fokus menonton.

15 menit berlalu, Alan belum juga kembali. Rara berdiri ingin menyusul Alan takut terjadi apa-apa. Tapi saat matanya melirik ke arah ruang tamu, di sana terlihat Bara berjalan memasuki rumah dengan wajah letihnya.

"KAKAK."

Rara langsung berlari dengan tangan terlentang menghampiri Bara, langsung saja Rara memeluk tubuh kekar kakaknya, Rara sangat merindukan Bara.

Rasa letih di tubuh dan pikirannya menguap begitu saja saat Rara berlari dan memeluknya. Adik ya ini sangat manis dan manja bila dengan orang yang membuatnya nyaman. Bara pun membalas pelukan Rara erat.

"Kangen," rengek Rara.

Bara terkekeh, "Kakak juga kangen kamu."

"Papah sama Mamah mana?"

Rara celingak-celinguk mencari keberadaan Arsen dan Nadin, Ia kira orang tuanya akan pulang bersama dengan Bara.

"Lagi di jalan," balas Bara.

Bara menuntun Rara untuk masuk lebih dalam ke rumah. Di tangga nampak Alan yang sedang turun, wajahnya langsung terkejut melihat ada Bara.

"Eh, Kakakku yang ganteng, banyak duit, dan nyeremin udah pulang?"

"Kakak kok lama ke toiletnya, aku kira pingsan," celetuk Rara mengabaikan sapaan Alan kepada Bara yang lebih tepat di bilang cibiran.

Alan menyipitkan matanya, lalu duduk di sofa ruang keluarga meraih toples yang berisi keripik keju, tangannya meraup beberapa potong keripik lalu memasukkannya ke dalam mulut tanpa menghiraukan Bara dan Rara.

"Ih sebel, Kakak suka gak jawab kalau aku tanya," ucap Rara merajuk.

Wajah Rara cemberut, bibirnya maju 2 senti, tak lupa kakinya Ia hentakkan pelan ke lantai.

Bara mengelus puncak kepala Rara, "Tanya Kakak aja," ujarnya.

"Oke deh. Kalau artinya shit itu apa?"

Rara bertanya kepada Bara sambil menetap mata Bara polos, Bara menaikkan alisnya sebelah, apa telinganya tak salah dengar?

Alan yang sedang memakan keripiknya dengan santai tiba-tiba menjatuhkan toples keripik yang ada di pangkuannya. Jantungnya terasa berhenti berdetak, kepala Alan perlahan menatap Bara, tangannya masih memegang beberapa keripik.

"Kamu denger itu di mana?" Tanya Bara.

"Aduhh, kenapa kepala sama perut aku sakit ya? Kayaknya harus istirahat di kamar deh, ak-"

Ucapan Alan terpotong melihat jari telunjuk Rara mengarah padanya dengan senyum yang menurut Alan sangat menyeramkan.

Bara langsung menatap tajam Alan, tercetak jelas di matanya Ia sedang marah sekaligus tak percaya. Bagaimana bisa Alan berkata seperti itu di dekat Rara. Seharusnya sebagai seorang kakak Alan bisa menghindarkan hal-hal buruk pada Rara, tapi ini malah dia sendiri yang melakukannya.

Wajah Alan sudah pias, bahunya meluruh dengan pandangan kosong. Sepertinya kehidupan bagai nerakanya akan segera dimulai. Kenapa juga adiknya itu mengadu.

"Benar Alan?"

Suara dingin Bara menusuk indra pendengaran Alan, tatapan datarnya pun seakan menelanjangi Alan. Otomatis Ia bangkit dari sofa, tangannya menyatu di depan perut sopan. Keringat dingin mulai bercucuran di punggung Alan.

"I-iya. Tapi aku gak sengaja, aku lupa kalau ada Rara, soalnya aku kesel tadi Aldo ejek aku jadi keceplosan Kak. Serius." Nada Alan saat menjelaskan terdengar putus asa, tangannya membentuk huruf v.

"Oh jadi waktu di restoran Kakak ngomong itu juga karena kesel Kak Bara nelpon terus ya?" Celetuk Rara.

"Hah?"

Nyawa Alan terasa terhempas dari tubuhnya secara paksa. Kenapa adiknya itu seperti iblis, beda jauh dengan penampilannya yang terlihat seperti malaikat.

"Habis makan malam, ke ruang kerja Kakak," pesan Bara tanpa menatap Alan dengan suara tegas.

"Mau ngapain Kak?" Tanya Rara heran.

"Kasih Kakak kamu hadiah," jawab Bara dengan senyum tipis.

Demi dunia terbelah jadi sepuluh, mantan jadi pacar, atau pun motor kesayangannya isabel tergores. Sekarang bulu kuduk Alan meremang. Ia seakan mendengar monster yang bicara. Ia harus menyiapkan mentalnya, dan harus banyak makan nanti, agar tenaganya penuh.

"Wahh, Kak Alan beruntung banget dapet hadiah dari Kak Bara," seru Rara ikut bahagia. Tak tau saja dia, apa yang akan Bara lakukan pada Alan.

"Kamu ikutan aja yu," ajak Alan.

Lumayan kalau ada Rara, Bara tidak akan berbuat macam-macam. Siapa tau Ia bisa terbebas dari lingkaran setan sang kakak.

"Boleh?"

"Ekhem..."

Bara berdehem, Alan langsung menggelengkan kepalanya menghadap Rara.

"Gak boleh," ujarnya lesu.

"Ish," Rara membalikkan tubuhnya menghadap Bara, "oh iya Kak, jadi shit itu apa?"

"Kamu gak perlu tau sayang, dan ingat jangan pernah mengatakannya oke," pesan Bara sambil menangkup kedua pipi Rara.

"Kena-"

"Udah, Kakak mau mandi dulu gerah," potong Bara.

Cup.

Bara mengecup pipi Rara sebentar, lalu melenggang meninggalkan Rara dan Alan berdua, Alan langsung terduduk di sofa, Rara menghampiri Alan lalu ikut duduk di sebelahnya.

"Kakak kenapa kok kayak sedih? Harusnya kan seneng mau dikasih hadiah sama Kak Bara."

Alan tak menggubris ucapan Rara, dalam otaknya sekarang Ia sedang mencari cara untuk kabur.

"Gapapa kok, Ra caranya kabur gimana ya?"

"Kakak mau kabur? Kemana?" Kaget Rara.

"Kalau Kakak ngasih tau, berarti bukan kabur dong tapi liburan."

"Oh iya. Tapi, Kakak kenapa mau kabur?"

"Dahlah."

Lama-lama adiknya itu seperti sahabatnya Aldo sering mengajukan banyak pertanyaan. Tak lihat apa kalau dirinya sekarang sedang tidak bersemangat. Ia sempat memikirkan cara untuk kabur dari Bara, tapi setelah dipikir-pikir itu hanya akan menambah hukumannya saja.

***
.
.
.
.

New Life [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang