---6. Menikah---

5.5K 506 122
                                    


Pembicaraan dengan Kartini menyisakan ganjalan. Bermenit-menit sesudahnya, Ina duduk lemas, memeluk kedua tungkai di ranjang. Air mata berguguran tanpa sebab yang jelas. Mungkin akibat luapan berbagai emosi yang selama ini terpendam. Kehilangan ayah, tiba-tiba yatim piatu, lalu mendadak dipinang oleh budhe angkat sendiri, Ina tidak dapat menyebutkan perasaan apa yang tengah melanda bagai banjir bandang ini.

Tangan Ina meraih ponsel, ingin berbagi beban dengan Anin. Namun, saat telah berbincang dengannya, ia malah tidak ingin membicarakan hal itu. Anin terkenal "ember". Ia tidak yakin berita ini tidak akan sampai pada Dika. Ada jerit keras dari hati Ina.

Mas Dika nggak boleh tahu!

Ina sendiri tidak mengerti alasannya. Tiba-tiba memberitahu teman-teman sekampus bahwa ia akan menjadi calon istri seseorang rasanya aneh. Ia masih senang kelayapan dan haha-hihi bersama mereka. Masih suka menjelajah gunung bersama kelompok pencinta alam. Kumpul-kumpul dengan grup vokal di mana Dika menjadi pemain organ tunggal. Memicu adrenalin dengan bertanding badminton di Gelanggang Remaja dekat GOR Tambaksari. Masa iya dirinya sudah dipatenkan oleh duda berumur 38 tahun? Mungkin Irham benar, ia masih memiliki jiwa anak kecil.

Kendati begitu, ia tidak bohong bahwa mimpi-mimpinya kerap diisi lelaki itu. Membayangkan Irham akan menjauh bila ditolak, hatinya juga menjerit tidak rela. Lantas bagaimana? Bolehkah suami diundi menggunakan uang koin?

☆☆☆

Siang hari, kiriman makanan Irham datang. Indah mengantarkan ke kamar sembari tersenyum lebar.

"Kiriman dari Irham Bimantara!" serunya. "Lagi!"

Nama itu sekarang membuat jantung Ina meloncat-loncat tidak jelas. Pasti jantungnya sudah benar-benar sehat sehingga bisa berulah seheboh ini. Ia bergegas turun dari ranjang untuk menerima bungkusan itu.

"Makasih, Mbak."

"Ada kue lagi, sekarang pink! Ada lope-lopenya juga," bisik Indah, lalu terkekeh. Perawat itu keluar sambil bersenandung, "Menepilah sejenak kekasihku. Berikan ruang untuk rindu. Sehingga reda deru ragumu. 'Kan kupeluk hatimuuuuuu!"

Bentuk kue itu sekarang bundar, dihiasi bunga-bunga mawar berwarna merah muda dan taburan butiran cokelat putih. Indah dan elegan. Tangan Ina gemetar saat mengeluarkannya dari kotak. Ia mencari-cari, berharap menemukan pesan tertulis atau kartu ucapan. Benar, ada secarik kertas mungil berhias bunga-bunga yang bertuliskan goresan tangan Irham.

Kangen kamu. Kangen semobil berdua ke Malang.

Kalimat singkat itu sanggup menggetarkan hati Ina. Kebersamaan mereka selama ini menyembul ke permukaan, menutup memori perasaan pada Dika. Rasa terhadap kakak kelas itu menipis dan menjadi hambar, digantikan senyum Irham dan tatapan berbinarnya.

Ina melipat kartu ucapan itu, lalu diselipkan di dompet tanpa tahu gunanya. Ia cuma tidak rela tulisan tangan Irham itu dibuang di tempat sampah.

Ponselnya berdering. Ina berkeringat dingin menyambut panggilan video itu. Mata mereka beradu.

"In, kuenya udah datang?" tanya Irham.

"Udah, Mas."

"Kali ini suka?"

Ina mengangguk. "Cantik banget kuenya."

"Isi pesannya kamu juga suka?" tanya Irham hati-hati.

Wajah Ina memanas dan memerah. Ia mengangguk malu-malu. Irham seperti melihat kawanan malaikat turun dari langit dan melepaskan panah cinta pada mereka berdua.

"Gimana, kamu mau?" tanya Irham lagi karena tidak tidak yakin makna anggukan itu.

Ina mengerjap. "Mau kuenya?"

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang