---57. Cerai (2)---

1K 193 134
                                    

Kepala Irham mendadak pening. Ada yang berbenturan di dalam jiwanya. Di satu sisi egonya merasa diinjak-injak, di sisi lain nuraninya berteriak nyaring meminta dirinya surut dan merenung.

"Ir, kamu nggak pernah nasehati istrimu?" Kartini mengulang pertanyaan.

"Aku harus nasehati apa, Ma? Aku sendiri nggak tahu apa-apa." Irham terpaksa jujur. Bukankah sebelum ini pun ia suami yang gagal? Entahlah, Irham mulai merasa dirinya turut andil dalam perselingkuhan Ina.

Kartini mengerutkan kening. "Kamu ini gimana, sih? Kamu nggak ajak istrimu ngomong? Kalian nggak pernah ngobrol lama? Ina nggak nyambung sama kamu?"

Irham tertegun. Ia gunakan untuk apa saja waktunya selama ini? Ina sampai menyebut komputer-komputer itu istri selingkuhan. Kilas- kilas ekspresi Ina tertayang kembali dalam benak. Selain menangis, istri kecil itu kerap cemberut dan merajuk. Apa yang ingin disampaikan Ina? Seharusnya ia peka itu adalah sinyal adanya masalah.

Melihat putranya terdiam dan terlihat frustrasi, Kartini pun semakin iba.

"Mama minta maaf, sudah salah memilihkan istri buat kamu. Seharusnya Mama nggak maksa kamu nikah cepat-cepat," ujar Kartini sembari mengelus dada. "Kamu mau gimana habis ini?"

"Nggak tahu, Ma. Aku mau menenangkan diri dulu."

"Mama setuju. Cerai aja secepatnya, biar kamu bebas dan tenang."

Irham kontan menegakkan badan. "Kok cerai, Ma?"

"Ya iya, Ir. Istri tukang zina begitu buat apa kamu pertahankan? Paling-paling nanti kambuh lagi. Umur kamu udah 38. Lima belas tahun lagi kamu udah 53, dia baru 35. Kamu udah merosot, dia masih di puncak. Bisa kebayang gimana nafsunya nanti?"

Seluruh rambut Irham seakan berdiri mendengar itu. Ia teringat alasan Ina coba-coba di luar rumah. Istri kecil itu bilang ia penasaran karena selama ini merasa ada yang tidak tuntas. Sama saja Ina bilang ia bukan lelaki sejati di ranjang. Ternyata setragis itu pernikahannya.

"Kalau Ina itu tipe orang yang lugu, nerimo, nggak pencicilan, Mama yakin dia tetap sayang sama kamu sampai tua. Lha, kalau model Ina? Mama nggak yakin dia nggak akan mengulanginya nanti. Kamu masih seger dan ganteng aja dia selingkuh. Gimana kalau kamu sakit, tua, ompong, encokan?"

"Mama doain aku sakit dan encokan apa gimana?"

"Ya nggak gitu, dong. Kita kan nggak tahu gimana nasib berputar. Waktu jaya sih enak. Gimana kalau pas jatuh? Kamu yakin Ina nggak ninggalin kamu waktu kamu susah?"

Irham terdiam dalam waktu yang cukup lama. Jujur, ia tidak yakin lagi akan segala hal. Pilar-pilar hidup yang selama ini ia yakini benar, ternyata sekarang menjadi maya dan harus dipertanyakan kembali.

"Ir, jangan menyiksa diri. Wis ta la. Cerai aja. Masih banyak gadis baik yang mau sama kamu," bujuk Kartini.

"Aku belum bisa mikir apa-apa," kilah Irham.

"Ya, nggak usah dipikir. Nanti biar Mama minta tolong Pak Jefry buat mengurusnya. Kamu tahu beres aja, ya?" bujuk Kartini lagi.

"Pak Jefry yang pengacara?"

"Iya. Dia cepet dan nggak minta mahal."

Alarm tanda bahaya Irham berdering nyaring. "Ma! Tolong, jangan ikut campur kali ini! Masalahku sama Ina biar aku aja yang mengurus!"

Melihat reaksi tegangan tinggi itu, Kartini mereda. Mungkin ia sadar harus bicara perlahan-lahan pada putranya yang tengah galau tingkat dewa.

"Iyaaaa! Soal Pak Jefry itu, Mama cuma kasih saran. Tapi kamu memang sebaiknya cepat-cepat cerai, mumpung belum ada anak. Nanti ribet kalau Ina keburu hamil."

Kepala Irham kontan menjadi berat. "Aku nggak mau mikir soal itu!"

"Lho, nanti dia nebar racun ke kamu, merayu kamu minta dikasihani, terus kamu luluh. Dan akhirnya apa? Kamu akan menyesal dan menderita seumur hidup."

Irham melengos sambil mendengkus kasar.

"Jangan terkecoh sama penampilan Ina. Kalau lihat anaknya, dia kecil, polos, nggak centil. Tapi ternyata culas banget, menusuk kita dari belakang."

Tentang menusuk dari belakang itu Kartini tidak salah. Ina memang berkhianat dengan sangat telak.

"Ma, udah. Aku mau istirahat. Pusing banget nyetir dari Jombang," tukas Irham.

"Bocah kok ngueyele nuemen, ta?" Kartini geregetan. Ia tidak mau kalah tegas. (Anak ini kok membantah terus?)

"Dengerin Mama. Cepat urus perceraian!"

☆---Bersambung---☆

Jangan anggurin kolom komen, please ....
Komennya dikit-dikit tapi banyak.

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang