---57. Cerai (1)---

548 80 13
                                    

Setelah semua pergi, Irham menutup pintu kamar. Pikirannya kacau. Kalau sudah begini, ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada dirinya dan Ina. Kartini yang murka bisa berbuat apa saja.

"Ir, sini!" panggil Kartini.

Hati Irham berdebar. Keputusan apa lagi yang akan diberlakukan oleh sang ibu? "Mama mau diambilin apa?" tanyanya untuk mengalihkan perhatian.

"Tolong, teh manis itu," ucap Kartini sembari menunjuk teh kemasan. Irham segera memberikannya. Ia tetap duduk di sisi sang ibu sambil termangu.

"Kalau Mama perhatikan, kamu makin kurus. Mama paham apa yang kamu rasakan," ujar Kartini dengan nada iba.

Irham menoleh. "Aku malah nggak tahu. Aku udah nggak bisa merasa apa-apa."

"Mama salah ya, Ir? Mama mendesak kamu cepat-cepat nikah. Waktu itu Mama sedih lihat kamu selalu sendiri. Udah lama mukamu kusut, jarang senyum, bawaannya tegang terus. Mama kira Ina bisa bikin kamu bahagia."

"Enggak, Ma. Mama itu ibu terbaik bagi aku. Aku sayang Mama," ujar Irham sembari mengelus lengan ibunya.

Air mata Kartini menggenang. "Iya, kamu memang sayang Mama. Kamu anak baik. Sekolah juga baik-baik. Berteman nggak neko-neko. Papa kamu pasti bangga, Ir ...."

"Ma, udah. Istirahat, ya."

Kartini mengelus pipi Irham dengan perasaan pilu. "Tapi ... tapi kenapa nasibmu begini, dapat istri dua kali nggak bener semua. Oalah, Iiiiiiiir. Mama dosa apa, papamu dosa apa, sampai kamu kena hukuman nasib seperti ini?"

"Maaa, udah! Jangan meratap terus. Nggak enak banget didengar. Mungkin jalan hidupku memang begini, bukan salah Mama atau papa."

Kartini belum selesai meluapkan emosi. "Yang Mama nggak nyangka banget, Ina bisa nekat begitu. Padahal setahu Mama anak itu lugu, nggak kecentilan. Dari mana dia belajar seks bebas seperti itu?"

"Dari teman-temannya, Ma."

"Kamu tahu dari mana?"

Irham mengangguk. "Aku kloning hapenya, jadi aku tahu dia ngapain aja."

Kartini tercenung sejenak, seperti berpikir. "Waktu pertama kali ... apa dia masih ...?"

Irham mengangguk. "Masih."

"Kamu yakin dia masih perawan?"

Irham teringat saat pertama berhubungan suami istri dengan Ina. Tindak-tanduk Ina dan darah di seprai itu tidak diragukan lagi menjadi bukti keperawanan. Ia mengangguk. "Yakin, Ma."

Kartini mengerutkan kening. "Jadi dia belajar berbuat begitu setelah kalian menikah?"

Hati Irham seperti dicubit. Napas panjang pun terembus. "Iya, Ma. Dia dapat teman-teman penganut seks bebas."

"Zaman edan! Anak sekarang udah nggak takut masuk neraka."

Irham teringat keluhan Lulu terhadap ayahnya. "Nggak cuma anak-anak, orang tua juga banyak yang begitu."

"Tuwek-tuwek gendheng! Ga wedi ha ambek sikso neroko?" (Orang tua gila! Apa nggak takut dengan siksa neraka?)

"Gimana takut sama neraka, percaya ada dosa aja enggak," sahut Irham.

"Dia sering kumpul sama pacarnya itu?"

"Enggak. Dua kali. Yang kedua kayaknya karena dikasih ekstasi."

"Ekstasi? Kakak kelasnya kasih Ina ekstasi? Ya Gustiiiiiii! Terjerumus pergaulan macam apa anak itu? Kita harus gimana buat menjaga anak-anak ini?"

Kartini dan Irham termangu sejenak, tenggelam dalam kegundahan masing-masing. Beberapa saat kemudian, Kartini menepuk bahu putranya.

"Ir, waktu kamu tahu dia salah pergaulan, kamu nggak nasehati dia?"

Irham tidak segera menjawab. Seberapa banyak ia tahu pergaulan Ina sebelum kejadian itu?

Sssh, sial!

Irham mengusap wajah. Ternyata ia buta sama sekali tentang Ina. Saat ia menemukan istrinya solo, seharusnya ia segera mengambil tindakan, mengajaknya bicara. Ia malah mengklon ponsel Ina, lalu sibuk memata-matai.

Sebuah ingatan menyeruduk benak Irham. Setelah memergoki Ina solo, ia sangat marah dan terluka. Alih-alih mengajak Ina bicara baik-baik, ia justru memaksakan hubungan badan demi melampiaskan ego. Bukankah setelah itu Ina pergi ke rumah Anin dan berjumpa Dika? Jangan-jangan ia telah memperburuk keadaan dengan perbuatan itu.


///////////////////////

Bagusnya Irham cari istri baru aja atau gmn?

Tulis komenmu, ya! Thanks 

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang