---44. Bantuan Lulu(1)

811 58 3
                                    

Tamu dari Kutai Kartanegara itu akhirnya pulang setelah mereka sepakat untuk membuat proyek bersama. Irham cukup gembira dengan hasil pertemuan kali ini. Kedua orang itu membuka jalan untuk melebarkan sayap ke Kalimantan. Suatu hal yang telah dicita-citakan Irham sejak lama. Masa puas menjadi pemain lokal? Ia juga kepingin bisnisnya berkembang menjadi berskala regional, bahkan nasional.

Irham baru sadar Ina telah pergi saat ia naik ke lantai tiga. Tentu saja, ia tidak bisa langsung naik karena menjalankan protokol kesehatan berupa mandi, keramas, dan berganti baju. Ternyata seluruh kamar kosong.

"Mak, Ina ke mana?" tanya Irham pada asisten rumah tangga yang tengah menata meja makan.

"Tadi di bawah, Mas," sahut Mak Nah. Ia tidak begitu memperhatikan pertanyaan mahapenting itu. Perhatiannya terpaku pada satu mangkuk lauk yang baru saja ia letakkan di meja. "Ini, Mas. Bu Kar mengirim serundeng[1] kesukaan Mas Ir. Monggo ditiliki, Mas. (Silakan dicicipi)

"Udah dipanasi?" tanya Irham.

"Loh, harus dipanasi lagi?"

Irham berdecak. "Saya kan udah bilang, semua makanan yang didapat dari luar harus dipanasi biar virusnya mati. Kok lupa lagi, sih, Mak?"

"Ehehe. Soalnya ini kiriman Bu Kar. Saya kira cuma makanan basah yang beli di restoran yang harus dipanasi."

"Sama aja, Mak! Mak Nah kan nggak tahu makanan ini udah ketempelan kuman apa aja selama di jalan?"

"Oooo, inggih. Bisa ketempelan selama di jalan, nggih." Mak Nak manggut-manggut.

"Ya udah, serundengnya dibawa ke dapur. Mangkuknya dicuci, terus meja ini dilap lagi pakai alkohol."

"I-iya, Mas." Mak Nah mengangkat kembali mangkuk serundeng tersebut. "Mas Ir mau makan sekarang?"

"Ah, nanti aja. Saya belum lapar. Ina ke mana? Di bawah nggak ada."

"Loh, tadi thengak-thenguk di tangga situ, Mas. Ndak ketemu Mas Ir, ta?" (duduk-duduk bengong)

"Nggak ada, Mak. Dia nggak pamit sama Mak, mau pergi ke mana?"

"Ndak, Mas," sahut Mak Nah sambil menggeleng kecil.

Irham kontan mendesah panjang. Sudah pasti Ina keluar. Ini masalah gawat. Jangan-jangan Ina mengambek lagi karena ia mengingkari komitmen untuk tidak bekerja hari ini. Tapi, seharusnya Ina bisa memahami bahwa masalah ini bukan sengaja ia lakukan. Sebagai orang dewasa, mereka tidak bisa berbuat seenak perut sendiri. Ada kewajiban dan tanggung jawab sosial yang harus diperhatikan. Ina harus belajar tentang itu mulai dari sekarang.

"Coba ditelepon, Mas," usul Mak Nah.

Mendengar itu, Irham teringat perbincangan dengan ibunya. Ditatapnya sang asisten lekat-lekat. "Mak, jangan bilang apa-apa sama mama. Saya nggak suka urusan rumah tangga saya sampai ke mama. Mama sudah tua. Kalau sampai sakit karena kepikiran gimana?"

Mak Nah langsung mengelak. "Nggih, Mas. Saya ndak pernah bilang apa-apa, kok, ke Bu Kar. Tapi kalau saya ditanya, ya, saya jawab apa adanya."

"Oooo, gitu. Ternyata Mak Nah yang cerita soal Ina nangis?"

"Mboteeeen!" bantah Mak Nah. Sudah pasti, jawaban dan gerak-gerik perempuan itu tidak meyakinkan di mata Irham. (tidak)

"Kalau gitu dari mana mama tahu Ina sering nangis?"

Mak Nah kebingungan. "Ya, saya kan ndak boleh bohong, Mas. Bohong itu dosa, lho."

"Ya udah. Jangan diulangi lagi," ucap Irham. Ia kembali ke kamar untuk mencari ponselnya dan ponsel Ina. Ternyata gawai sang istri sudah tidak berada di tempat penyimpanan. Irham mendesah lagi. Sudah pasti istri kecil itu melarikan diri. Ia ingin tahu ke mana perempuan itu pergi.

Irham meraih ponsel, kemudian segera menyalakannya. Dengan gawai itu, ia membuka klon ponsel Ina. Wajahnya seketika menjadi muram, mendung gelap gulita bak langit menjelang badai. 

Ponsel Ina tidak aktif. Bayangkan itu! 

Pertanda apa ini kalau bukan pengkhianatan?


//////////////////

Bentar lagi ada yang ngamuk, nih.

Part besok, siapin pentungan yak

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang