---55. Kenapa Lagi?(1)---

495 73 13
                                    

Irham pulang ke ruko dengan hati kacau balau. Makanan yang disediakan Mak Nah hanya disentuh sedikit. Ia berusaha mengatasi kekacauan batin itu dengan menyibukkan diri dengan Diana dan Joan. Varian Linux baru yang ia bangun diotak-atik lagi walau semuanya sudah beres. Begitu pula grafik-grafik pergerakan cryptocurrency[1] di layar monitor Diana ia cermati agar lupa pada persoalan Ina. Memang upaya itu berhasil sejenak, tapi tidak berlangsung lama. Beberapa waktu kemudian, Irham menemukan dirinya tercenung di kamar utama, memandangi foto pernikahannya dengan Ina.

Malam mulai kelam. Irham tidak bisa berpikir lagi. Hanya Ina yang ada di benak saat ini. Ia mengambil dompet dan kunci mobil, lalu berangkat ke indekos Ina lagi. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh saat ia selesai mandi dan mengetuk pintu kamar Ina.

"In!" panggilnya.

Ina yang sudah membaringkan badan di kasur, tergopoh menyalakan lampu, lalu menghambur ke depan. la seperti bermimpi saat melihat siapa yang datang. Tidak seperti biasa, saat ini Irham menatap lurus-lurus tanpa berkedip. Jantung Ina kontan menderap kencang.

"M-masuk, Mas," ajak Ina sembari membuka pintu lebih lebar. Ia membiarkan Irham masuk, lalu mengunci pintu kembali karena telah malam.

Irham tidak langsung duduk, melainkan berdiri di belakang Ina. Saat perempuan itu membalikkan badan setelah mengunci pintu, tubuh mereka menjadi begitu dekat. Pandangan mereka tertaut. Dua jiwa yang terluka bertukar kepedihan diam-diam.

"Mas Ir mau dibuatin kopi?" tanya Ina lirih.

Irham menggeleng kecil. "Aku mau tidur di sini." Ia berjalan mendahului Ina ke dalam. Tanpa berkata-kata, ia naik ke kasur dan merebahkan diri.

Ina termangu, bingung mau bagaimana. Tidak mungkin ia ikut tidur di sisi Irham, bukan? Lantas ia harus tidur di mana? Tikar pun ia tak punya. Akhirnya Ina menarik salah satu bantal, lalu meletakkannya di lantai. Baru membungkuk hendak merebahkan diri, namanya telah dipanggil.

"In, sini!" Irham menepuk kasur di sisinya.

Ina belum bergerak juga. "Boleh?"

Irham hanya menjawab dengan decakan keras dan alis tertaut. Itu berarti ia tak mau dibantah. Ina segera naik, lalu membaringkan diri dengan takut-takut. Ia sengaja memeluk guling sembari memunggungi Irham.

Beberapa waktu berlalu tanpa suara. Tahu-tahu terdengar gesekan badan di seprai. Lalu, ada yang melingkar di pinggang Ina. Punggungnya juga merasakan kehangatan. Embusan napas berdesir halus, menyusur tengkuk. Ina hampir tak percaya Irham memeluknya!

Menit demi menit berlalu dengan lambat. Ina tidak tahu harus merasa apa. Ia tidak berani berharap, namun sekaligus sangat menginginkan semua ini bukan hanya sesaat. Air mata pun meleleh mengiringi bahu yang berguncang.

Dilanda kelelahan, Irham sebenarnya mulai terlelap. Kebersamaan ini membuatnya tenang. Ia tidak berpikir apa-apa, hanya ingin menyentuh dan memeluk Ina. Ingin merasakan bahwa perempuan ini masih menjadi miliknya. Ia terjaga karena tangis Ina. Seketika ketenangannya runtuh.

"Kamu kenapa lagi?"

Ina sesenggukan. Yang ada saat ini hanya segunung rasa bersalah. "Mas Ir, aku minta maaf," ratapnya.

Irham kontan terbayang kembali pengkhianatan Ina. Tertayang ulang dengan sangat nyata tubuh mungil yang sama berada di atas ranjang Dika. Kemarahannya membengkak lagi.

"Aku mau tidur, In!" sergah Irham. Ia melepas pelukan dan membalikkan badan memunggungi Ina.

☆☆☆

Irham pulang keesokan hari setelah sarapan berdua dengan istrinya. Semalam, walau sempat terjadi insiden tangis Ina, ia bisa tidur lelap. Tubuhnya menjadi lebih segar pagi ini.

Gangguan datang saat makan siang. Irham sebenarnya ingin makan bersama Ina, namun Kartini menelepon.

"Ir, gimana Ina?"

"Baik-baik aja, Ma."

"Udah kamu jenguk?"

"Udah."

"Kamu jenguk di Blitar?"

"Iya."

"Kamu jangan macam-macam sama Mama, Ir!"

"Loh, kenapa?"

"Mama tahu nggak ada magang tiga bulan di Blitar. Mama sudah cek ke fakultasnya Ina. Sekarang jujur sama Mama, kalian berantem lalu pisah rumah?"

Irham mendesah. Bagaimana bisa menipu Kartini? Perempuan itu tahu Ina sering menangis. Insting ibunya juga sepeka radar militer.

"Kalian belum setengah tahun nikah. Ada masalah apa lagi? Ini pernikahan kedua kamu, lho."

"Ya, aku tahu. Kenapa kalau pernikahan kedua? Mama juga yang mendesak-desak aku dan Ina buat nikah."

"Eeeeh! Jadi ini salah Mama?" Nada bicara Kartini mulai meninggi.


////////////

Bersambung besok. 

Maafin Fura yang lama vakum. Ada kerjaan di RL yang nggak bisa diduakan #eaaakkk

Habis ini Ina Irham akan up sesuai jadwal biasa: Sabtu dan Minggu.

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang