---35. Rindu (2)---

1.3K 100 6
                                    

Hari-hari berlalu dengan tenang. Irham kembali ke kesibukannya. Bila toko telah tutup, ia lanjut di kamar sebelah bersama istri-istrinya; Diana, Electra, Joan, dan Mulan. Ina tidak protes atau menuntut perhatian lagi. Ia sudah kapok dituduh berotak syahwat. Di ranjang, ia hanya pasif menunggu bila Irham membutuhkan. Itu pun jarang-jarang karena Irham sering masuk ke kamar lewat tengah malam. Ina sudah terlelap dan rupanya Irham terlalu mengantuk untuk berolahraga suami-istri.

Ina sudah tidak berani menyentuh gambar erotis dan video mantap-mantap. Ia takut otaknya melisut bila kecanduan masturbasi. Saat denyutan itu datang minta dipuaskan, ia hanya bisa menjatuhkan diri di kasur dan memeluk guling. Kadang air mata menetes sendiri tanpa sebab. Setiap ia terbangun dan menemukan Irham di sisinya, ia ingin menjarah tubuh itu. Bibirnya ingin menjelajahi lekuk wajah rupawan itu, ingin berlabuh di bibir Irham yang kenyal dan hangat. Namun, ia hanya bisa memendamnya dalam-dalam di dasar kalbu. Kata orang, menjadi perempuan santun yang menurut pada suami adalah takdir kaum hawa. Ah, untuk hal ini segenap jiwa Ina ingin memberontak!

Kegiatan Ina sekarang semakin banyak mengobrol dengan Anin dan Dika. Kedua sahabat itu terus memancing dan mendesak Ina mengaku. Akhirnya, Ina tak punya pilihan selain berkata jujur bahwa ia telah menjadi istri sah Irham. Biarpun begitu, Anin dan Dika masih tidak percaya ia menikah dengan kakak angkat yang berbeda usia delapan belas tahun. Apalagi ia pernah datang dan menangis-nangis di rumah Anin.

"Beneran kamu udah nikah, In?' tanya Dika. Ia sedang duduk di sebelah Anin, video call dengan Ina.

Ina mengangguk lemah. Ia agak malu pada Dika karena selama ini telah berbohong.

"Naaah, instingku nggak salah. Orang yang dijodohin itu masmu!' ujar Dika. Raut wajahnya jelas-jelas menunjukkan kekecewaan. "Kamu beneran cinta sama masmu?"

Ina menggigit bibir. Cinta? Absurd sekali kata-kata itu. Dulu ia memang berdebar dan berkeringat dingin bila berdekatan dengan Irham. Benarkah itu cinta? Atau hanya reaksi fisiologis semata akibat adanya feromon yang membuat lelaki dan perempuan tertarik secara seksual? Sikap diam dan ragu Ina rupanya membuat Anin dan Dika cemas.

"In, kamu nggak diapa-apain sebelum nikah sama Mas Ir?" tanya Anin dengan hati-hati.

Ina kontan menggeleng. "Enggak! Mas Ir bukan penjahat kelamin, tahu!"

Alih-alih menjadi percaya, Anin malah semakin khawatir. "Jangan sungkan, In. Kalau kamu emang terpaksa nikah, jujur aja. Sebenarnya kenapa sih kamu mau nikah sama dia? Udah duda, umurnya pantes jadi om kamu. Mana mendadak lagi."

Entah mengapa, Ina malu sekali suaminya dikatakan duda tua seumur om-om. Ia merasa bodoh. "Yaah, waktu itu kan bapakku nggak ada. Aku tiba-tiba jadi yatim piatu. Ngeri banget, Nin," jawabnya lirih, untuk membela diri.

"Yaelah, In. Kalau emang mau membantu, Mas Ir kan bisa menyantuni kamu. Misalnya kasih uang bulanan. Nggak perlu harus menikahi kamu," lanjut Anin.

Ina memutar kembali memori saat Kartini, ibunda Irham, menghubungi dirinya. Jujur saja, kata-kata wanita itu telah membuatnya tidak enak hati dan memutuskan dengan terburu-buru. "Yaaa, aku dan keluargaku kan udah hutang budi banyak banget sama keluarganya Mas Ir," sahut Ina.

Mendengar jawaban itu, Dika dan Anin saling pandang. Anin mencondongkan badan, mendekat ke kamera. "In, denger, ya. Nikah itu demi kebahagiaan kamu, bukan demi membalas budi."

Hati Ina menjadi remuk mendengarnya. "Aaah! Udah, deh. Udah telanjur juga. Mau diapain lagi?"

Sekali lagi, Dika dan Anin saling pandang. Ina yakin kedua orang itu merasa iba. Apakah nasibnya semiris itu di mata mereka?

"In, aku masih boleh ketemu kamu? Besok makan yuk di bakso beranak," ujar Dika.

Ina menatap nanar ke layar komputer. Sepasang mata elang Dika menyorot lembut. Binarnya meluluhkan pertahanan Ina. Ia ingin mengiyakan, namun sesuatu menahan hatinya. "Tapi aku takut Mas Ir curiga kita berbuat macem-macem."

Mata Dika meredup. "Iya juga, sih. Tapi ... daripada kamu gila sendiri di situ ...."

Ina mengerutkan kening. "Maksudnya gila sendiri itu apa, Mas?"

"Oh, enggak-enggak, kok. Aku asal ngomong tadi. Ya udah. Kamu istirahat aja ya, In. Kalau ada apa-apa, hubungi aja aku atau Anin. Kami siap membantu."

Video call itu berakhir, namun otak Ina belum mau lepas dari pembicaraan dengan Dika. Benarkah ia adalah korban paksaan Kartini dengan dalih membalas budi? Kalau diminta memilih dengan jujur, ia lebih senang menyelesaikan kuliah dulu, lantas memiliki pekerjaan yang mapan, baru berumah tangga. Mengapa ia setuju saja saat itu?

Ah, Ina merasa tak berdaya. Ia terlalu muda dan seorang diri menghadapi Kartini dan Irham. Rasa rindu kepada ayah dan ibunya menggelembung, membuat dada sesak. Tanpa terasa, air matanya meleleh dan membanjiri pipi.


///////////////////////////

Ina playing victim nggak sih di depan Dika dan Anin?

Irham juga, sih🤣 Emang ya punya pendirian itu penting. Tapi belajar untuk bijaksana lebih penting lagi

Cerita ini akan up di WP sampai tamat. Tapi buat yang nggak sabar tunggu apdetan, langsung cuuus aja ke KBM atau Karya Karsa. Di sana udah tamat.

Buat pengguna Karya Karsa, ada paket murah meriah.

Cukup dengan Rp25.900,- Sobat dapat membaca Love You Still sampai tamat.

Tunggu apa lagi, yuk cuuuus ke sana!

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang