---61. Kedapatan---

1.1K 163 98
                                    


Irham mengantar Kartini ke Malang. Sang ibu memintanya menginap, tapi ia menolak. Ada yang mendorongnya untuk segera kembali ke Surabaya. Diantar oleh Sarji, sopir Kartini, Irham mendatangi indekos Ina.

Ina sudah menyiapkan ember air sabun dan baju ganti di teras. Ia juga menyiapkan makan malam walau tidak yakin Irham akan lama berada di indekosnya. 

Saat menunggu Irham datang, Ina mengambil foto USG anaknya dari laci. Diusapnya gambar itu dengan penuh sayang. Setelah itu ia mengelus perutnya.

"Ada yang mau datang, Nak. Tapi Ibu nggak tahu dia bapak kamu atau bukan. Tapi kamu jangan khawatir. Ibu akan selalu sayang sama kamu. Ibu akan jamin kamu nggak akan kekurangan."

Jam makan malam sudah lewat saat pintu kamar Ina diketuk. Ia segera membukanya. Wajah Irham terlihat lelah, tapi matanya menatap dalam. 

"Masuk, Mas. Nggak nginep di Malang?"

Irham menggeleng. "Aku ada urusan di sini." Irham duduk di ruang tamu, lalu menyandarkan kepala di dinding.

"Mas Ir udah makan?"

"Udah. Tadi sempat mampir makan di jalan sama Pak Sarji."

"Oh. Mau kopi, Mas?"

Irham mengangguk. Ina pun bangkit, masuk ke dalam. Ruangan itu menjadi kosong, sama seperti hati Irham. Tanpa sadar, ia merasa harus tinggal lebih lama di situ.

"In! Kamu punya lauk? Aku tadi cuma makan sedikit." Irham berteriak agar didengar Ina.

Ina bergegas kembali ke ruang tamu dengan hati berbunga. "Mas Ir mau makan? Aku tadi masak, sih."

Irham menatap istrinya lekat-lekat. Apa yang membuatnya datang ke sini padahal ia bisa langsung ke ruko? Sosok mungil di depannya ini sudah berkhianat, sama seperti Dwita. Ia ingat dulu, memohon-mohon pada Dwita untuk mempertahankan rumah tangga. Ia rela meletakkan harga diri, jujur, bukan karena cinta mati. Ia hanya tidak mau dipandang sebagai lelaki gagal.

Sekarang dengan Ina terasa sangat berbeda. Ia tahu dirinya berada di atas angin. Ina yang bersalah, Ina yang seharusnya dihukum. Ia tidak harus memohon-mohon. Ina akan pasrah diperlakukan apa saja karena sebagai pihak yang membuat kesalahan.

Hanya satu saja masalahnya. Saat ini logikanya tidak berfungsi. Menjauh dari Ina, ia sakit hati dan setengah gila. Ina ternyata telah merasuk dan menyatu dengan dirinya. Bagaimana tidak? Ia bahkan menunggui saat istri kecil ini dilahirkan. Sejarahnya dengan Ina sudah berumur dua puluh tahun. Itu yang ia benci!

"Masak apa?"

"Rawon."

Kontan terbayang olahan daging berwarna hitam itu. Kalau begini, lidahnya tidak bisa menolak. "Boleh. Tapi nasinya dikit aja."

Ina senang. "Tunggu bentar, aku panasi."

Ina masuk ke dapur mini di bagian belakang indekos itu. Ia heran Irham membuntuti. Mereka berdiri bersisian di dekat meja dapur. Setelah menyalakan kompor untuk memanaskan rawon, Ina mengambil piring, lalu membuka rice cooker. Tahu-tahu Irham mengambil piring itu. Bukan kebiasaan Irham mengambil nasi sendiri bila ada orang lain di sekitarnya. Sejak kecil, ia tinggal duduk manis di meja makan. Nasi akan diambilkan ibunya atau para asisten rumah tangga.

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang