---47. Mengapa (2)---

1.1K 163 104
                                    


Ina tersentak. Ia tertampar keras. Selama ini, ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Perkataan Irham seperti membuka pandangan baru. Ternyata pernikahan itu seperti ini. Dua orang akan menjalani hidup bersama, baik saat senang, sehat, dan kaya, maupun ketika sakit, tua, dan miskin.

Sekarang ia tahu, bagi Irham seks adalah masalah sepele. Mengapa baginya menjadi persoalan hidup dan mati? Irham lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Bila terdapat sisi menjengkelkan atau kelemahan, bukankah sudah sepatutnya ia memaklumi?

Ina lemas. Dunia nyata kini terpampang jelas dan terang benderang. Ia malu sekali. Rasa bersalahnya membengkak sebesar gunung.

"Enggak, enggak, Mas. Aku pasti akan merawat Mas Ir baik-baik."

Irham melengos. Mana bisa ia mempercayai kata-kata manis istri yang baru saja hohohihe dengan lelaki lain? "Enggak-enggak apanya? Buktinya kamu selingkuh!"

"Maaf ... aku khilaf. Aku cuma iseng."

Irham miris mendengar jawaban itu. "Kamu udah dewasa, udah jadi istri! Pernikahan itu bukan buat mainan, apalagi iseng!"

Ina tersentak kembali. Hatinya semakin remuk saja.

"Itu satu lagi yang aku nggak suka. Aku ini suamimu, keluargamu, orang yang paling dekat sama kamu. Kalau ada apa-apa, kamu malah lari ke orang lain. Teman-teman kamu itu lebih penting dari aku?"

Ina tidak bisa menjawab. Kenyataannya ia baru sadar dirinya begitu.

"Kenapa kamu lari ke rumah Anin waktu itu? Kamu nggak terima dimarahi, lalu ngadu ke Anin?" tuduh Irham. "Aku nggak suka perbuatan begitu, ya! Kalau dimarahi itu artinya kamu harus koreksi diri, bukan malah ngadu ke luar. Kamu pikir teman kamu bisa kasih solusi yang lebih baik? Buktinya mereka malah menjerumuskan kamu."

Benak Ina kontan menayangkan kembali kejadian sebelum ia kabur ke rumah Anin. "Aku ... aku nggak pergi karena dimarahi." Kata-kata itu tercetus begitu saja dan kini ia menyesal telah mengucapkannya.

"Bukan karena dimarahi? Lantas karena apa?!"

Ina menggigit bibir.

"JAWAB!" bentak Irham. Seluruh emosinya tersembur sudah. Untuk sejenak, seisi ruangan seakan membeku karena hardikan itu.

Ina tersengal. Bibirnya gemetar saat berujar lirih, "Karena ... karena waktu itu ... Mas Ir maksa dan main kasar. Aku ... aku kayak diperkosa ...."

Irham terbelalak. Ia memperkosa Ina? Alasan macam apa itu? Suami menggauli istri itu memperkosa? "Kamu selalu begini, ya! Kamu yang salah, bukannya sadar malah balik nyalahin orang!"

Sudah pasti, Ina tidak berani membuka mulut lagi. Irham selalu benar. Itu kenyataan yang harus ia telan mulai dari sekarang. Ia berharap sidang ini cepat berakhir sehingga ia tinggal menjalani hukuman. Namun ternyata, Irham belum puas.

"Satu hal lagi. Kenapa kamu nggak jujur sama temanmu kalau kita udah nikah?" cecar Irham kembali.

Jiwa Ina sekarang babak belur. Ia malu sekali.

"Kamu malu punya suami tua, In? Aku nggak cocok buat mendampingi kamu?" tanya Irham.

Ina menunduk semakin dalam. Napasnya tersengal seiring buliran bening yang semakin deras mengalir jatuh. Melihat itu, Irham tak butuh jawaban yang keluar dari mulut Ina. Sikap Ina sudah cukup untuk memberi tahu bahwa dirinya seburuk itu. Napas Irham pun ikut tersengal. Matanya mengabur.

Irham mengambil napas panjang untuk mencegah air matanya jatuh. Beberapa saat ia mencoba, namun buliran bening itu gugur juga akhirnya. Ia cepat-cepat mengeringkannya dengan kedua tangan. Sambil bangkit, ia sempat menatap Ina sekilas dan semakin merasakan kehancuran jiwa yang tak tertolong. Ia segera membuang pandangan ke arah lain.

"Kemasi barang-barangmu. Aku nggak bisa hidup seatap sama kamu lagi," perintah Irham dengan suara dingin.

Napas Ina terhenti sejenak saat mendengar vonis itu. Hatinya yang remuk kini berguguran menjadi serpihan di kerak jiwa. Hubungannya dengan Irham akan segera berakhir. Walaupun segenap isi dada menolak, ia bisa apa? Ia memang layak mendapat hukuman. Apa pun keputusan Irham, ia akan menerima dengan lapang dada.

☆---Bersambung---☆

Komen please...

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang