---59. Jangan Menyesal (1)---

562 64 15
                                    

Ina kehilangan keinginan untuk bergerak. Irham akan datang untuk membicarakan perceraian mereka. Seharusnya ia tidak perlu kaget. Reaksi Kartini yang seheboh badai kemarin sudah menjadi pertanda sikap sang ibu mertua. Ina sangat tahu, Irham amat menyayangi Kartini. Sangat tidak mungkin Irham menukar ibunya dengan perempuan kotor ini.

Telepon Ina berdering kembali. Anin menghubungi.

"In, kuliah Pak Heru maju setengah jam. Kamu udah tahu belom?"

Mata Ina melebar. "Hah? Bentar lagi, dong?"

"Iya. Lima belas menit lagi. Eh, itu mata kenapa bengkak?"

Ina tertunduk lesu. "Kayaknya Mas Ir mau cerai."

Anin ikut merasa pedih. "Ya ampun, In. tega banget sih dia. Kamu udah nggak punya siapa-siapa gini. Apa nggak ada sedikit aja rasa kasihan gitu?"

"Nggak pa-pa. Aku sadar kok, aku udah nggak layak buat dia," jawab Ina dengan pahit. "Tapi aku yakin aku sanggup hidup sendiri."

"Jangan lupa, kamu masih punya aku," ucap Anin sambil tersenyum.

"Asal kamu nggak ngajari ilmu neraka lagi," balas Ina.

"Ih! Ilmu itu bisa hitam atau putih tergantung orang yang pakai. Kamu saring sendiri, dong. Jangan diterima mentah-mentah. Kritis, kritis!"

"Ini yang ngomong kayak lupa kalau dia profesor neraka."

Anin terbahak nyaring. Ina melihat tawa itu sambil merenung. Apakah ini juga titipan sayang dari-Nya?

Ah, kritis! Kritis! Disaring!

Kasih sayang Anin mungkin titipan dari-Nya. Tapi perbuatannya jelas tidak. Masa Sang Pemberi Hidup mengajarkan seseorang ke neraka? Apa pun itu, ia sayang Anin dan berharap sahabatnya itu hidup dengan baik.

"In, aku seneng punya teman kamu. Nggak tahu, kalau nggak ingat punya kamu, aku udah ngerasa kayak orang ilang di sini," ujar Anin dengan wajah sendu.

"Berat banget hidup sama mertua ya, Nin?"

Anin mengangguk beberapa kali. Buliran bening berguguran ke pipi. "Yang paling berat itu dibuang sama mama dan papaku. Makanya aku tahu gimana rasanya jadi kamu yang sebatang kara."

"Aku nggak ke mana-mana, Nin. Kamu bisa hubungi aku kapan aja," ujar Ina untuk menghibur Anin. Saat senyum Anin merekah kembali, hati Ina ikut ringan.

"Makasih, In. Udah gih, cepetan mandi. Kuliahnya udah mau mulai, nih."

Ina segera mandi. Tidak seperti biasa, air dingin yang mengguyur tubuh membuatnya menggigil. Bahkan pasta gigi terasa pahit. Ia mulai khawatir terkena Covid lagi.

Oh, jangan!

Irham akan semakin marah kalau ia sampai positif lagi. Pasti ia disalahkan karena terlalu banyak keluar untuk berjualan. Ina segera menyeduh sereal untuk menghangatkan tubuh.

Karena waktu kuliah sudah mepet, ia tidak sempat sarapan, hanya minuman sereal itu yang mengganjal perut. Baru duduk setengah jam, ia merasa pening. Ada yang naik ke tenggorokan. Liurnya membuncah. Ia mendadak ingin muntah.

Ina lari ke toilet, lalu mengeluarkan isi perut. Padahal isi lambungnya hanya air dan sereal. Untung ia berhasil ikut kuliah sampai selesai, walau dengan memijat kening dan menghirup minyak angin. Ternyata selesai kuliah, ia kembali muntah-muntah.

Jangan sakit, please. Aku sendirian dan cuma punya badan ini. Cuma kesehatan asetku.

Ina merebahkan diri di kasur. Posisi itu cukup membantu untuk mengurangi mual. Ia kemudian meraih biskuit dan memakannya perlahan sambil berbaring. Ia harus makan agar punya tenaga. Siapa yang akan mengurusinya kalau bukan diri sendiri?

Makanan ringan yang manis dan gurih itu lumayan meredakan amukan lambung Ina. Setelah berbaring cukup lama, kekuatannya pulih.

Terdengar pintu kamar diketuk. Ina mencoba duduk, lalu berusaha bangun secepat mungkin. Dengan langkah lebar, ia pergi ke depan. Semula ia menyangka Irham yang datang. Ternyata orang lain.

"Halo, In! Ketemu juga kan kosmu yang baru!" Senyum seksi si Bibir Merah menyambut Ina di depan pintu.

"Mas Dika?" Ina segera masuk lagi ke dalam, mengambil masker. "Pakai ini, Mas! Jangan nulari aku!"

Mau tak mau Dika memasang benda itu. "Nih, udah!"

"Mas Dika ngapain ke sini?"

Dika tidak menjawab. Ia malah menjulurkan kepala melongok ke dalam. "Waah, bagus banget kosmu yang baru. Mas Ir yang kasih ini?"

"Mas! Sebaiknya cepet pulang. Kita nggak boleh ketemu lagi."

Dika mengamati Ina dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Kayaknya ada yang lain, ya? Kamu kurusan tapi ...." Dika membuat gerakan tangan di depan dada. "Itunya lebih gede. Kamu hamil?"

"Sok tahu!"

Dika mengangkat alis. "Tahu, dong! Sepupu-sepupuku gitu kalau hamil."

Ina bersedekap dan merengut. Dika menatapnya dalam-dalam. Binar-binar rindu meletup dari mata elangnya.

"Bener ya, kamu hamil? Kamu udah telat?" tanya Dika dengan suara yang dalam.


///////////////////

Buat Sobatnya Fura yang nggak sabar nungguin apdetan, meluncur aja ke Karya Karsa atau KBM App. Di sana udah tamat.

Khusus buat pengguna Karya Karsa, ada paket ekonomis loh. Cukup dengan Rp39.900,- Sobat bisa membaca Remah Roti sampai tamat, tanpa batas waktu. Oh, ya. Ada 2 bab yang bisa didownload dan dibaca berulang-ulang tanpa kuota.

Tunggu apa lagi? Buruan cuuus ke sana!

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang