--10. Pagi Pertama (2)--

5K 174 21
                                    


Ina mengangkat tubuh sedikit. Tidak puas hanya menyentuh dengan ujung jari, Ina memajukan bibir.

Tahi lalat imut disapa dengan kecupan.

Sukses mencuri ciuman, Ina ketagihan. Diulangnya untuk kedua kali, lalu ia tak mau lepas dari sana. Gara-garanya tak lain dan tak bukan adalah aroma leher Irham yang menggugah sesuatu.

Hati Ina berdebar. Diam-diam ia berharap Irham terbangun, kemudian menyambut kecupannya. Sayang, debaran itu harus diredam karena Irham bergeming, bahkan tetap mendengkur dengan nyamannya.

Ina penasaran. Tatapannya mengarah ke wajah Irham. Sejenak ia maju mundur. Boleh, tidak, boleh, tidak. Akhirnya sebuah kecupan mendarat di pipi, lalu bibir lelaki itu. Sekarang Ina baru merasakan bibir yang kenyal. Mendadak ia merasa gemas sekali. Sepasang bibir yang hangat itu tiba-tiba terasa manis. Ina tidak rela melepasnya!

Beberapa detik kemudian, Irham menggeliat. Ina sampai kaget dan segera menarik wajah ke belakang. Bagaimana kalau Irham bangun? Ia akan bilang apa kalau Irham bertanya sedang melakukan apa? Wajah Ina memerah dan memanas.

Ternyata Irham tidak bangun. Ia menggeliat sejenak, lalu memutar tubuh memunggungi Ina. Gerakan dalam tidur itu kontan membuat Ina menggigit bibir. Tahi lalat menghilang dari pandangan. Bibir hangat juga lenyap dari jangkauan.

Tidak jelas apa yang membuat Ina bangkit, lalu menghambur ke kamar mandi. Bahkan sedang tidur pun, Irham membuat dadanya panas. Tanpa berpikir panjang, ia menyalakan kran dan mengisi bathtub dengan air hangat. Setelah cukup penuh, ia membuka semua baju dan menenggelamkan kepala di air.

Ina merendam seluruh tubuh di bathtub. Air mengurangi berat tubuhnya yang sudah mungil sehingga otot-otot mengendur. Kehangatan yang membelai kulit itu membuat bara di dada Ina mereda. Ia malah keasyikan bermain tiup-tiup gelembung.

"In?" suara Irham yang memanggil membuat Ina terkaget. Saat mengangkat kepala dari air, ia mendapati suaminya sudah berdiri di samping bathtub.

"Mas? Kok udah bangun?" tanya Ina sambil kebingungan. Ia harus keluar dari air dan mengambil handuk atau tetap berendam?

"Aku mau pipis." Irham berbalik.

Ina membuang muka. Hanya telinganya saja mendengar kucuran air yang disusul siraman. Belum sempat berpikir lagi, tahu-tahu Irham sudah kembali ke sampingnya. Kali ini lelaki itu sudah menanggalkan baju bagian bawah dan tengah melepas kaus. Detik berikutnya, Irham memasukkan kaki ke bathtub.

Air meluber saat tubuh Irham menyerbu istrinya. Air hangat itu membuat segala sesuatu menjadi menggairahkan. Ina pasrah ketika wajah Irham dan bibirnya merambah kulit. Begitu pula tangan lelaki itu, menjelajah setiap lekuk. Apa yang semalam terjadi di atas ranjang, kini terulang di bathtub.

Ina merengkuh punggung Irham sebagai tumpuan, lalu membalas ciumannya sambil terengah. Semua nadinya seperti melebar, memompa darah panas ke seluruh tubuh. Setiap jengkal dagingnya menjadi aktif, meronta dan meminta, menggelepar karena rindu dan gemas yang sangat. Ina baru tahu ia bisa menjadi sebuas ini.

Irham membuka paha Ina. Lingganya meluncur menuju yoni yang terbuka. Rasa nyeri itu mendera kembali, membuat Ina mendesis. Irham kembali membeku. Takut membuat Ina menangis kembali. Ujung lingga sudah siap untuk ditarik mundur. Tapi yang terjadi di luar dugaan Irham.

Ina tidak mau kehilangan seperti semalam. Pinggang Irham didekap erat-erat. Mau tak mau seluruh batang itu menancap dengan telak. Mata Irham melebar karena kaget. Namun, sekarang bukan waktu untuk berpikir. Si Adik Lingga-lah yang memerintah dan menguasai tubuh. Ia tidak mau keluar dari yoni sebelum melepaskan calon anak-anak di tempat yang benar. Disertai erangan lirih dan kernyitan wajah, puncak pelepasan itu akhirnya tercapai.

Tubuh Irham terkulai sambil memeluk istrinya. Ada rasa lega yang susah dilukiskan dengan kata-kata. Dikecupnya bibir Ina dengan sayang, lalu menarik diri.

"Perih, In?" tanyanya sembari mengamati milik istrinya, kalau-kalau berdarah lagi. Tapi tidak ada apa-apa. Bila berdarah pun, mungkin sudah terbasuh air.

Ina mengangguk.

"Ah, aku terlalu keras?" tanya Irham.

Ina menggeleng.

"Kamu udah?" tanya Irham lagi.

Ina mengerjap. "Udah apa?"

Sekarang Irham yang bingung menjawab. Sudah jelas Ina meringis menahan sakit. "Mmm, enggak, enggak pa-pa. Nanti aja kalau udah nggak sakit."

Irham bangkit, lalu mengambil sampo dan sabun. "Sabunan?" tanyanya sambil mengangkat-angkat alis.

Ina cuma melongo. Bagian bawah tubuhnya masih berdenyut keras. Nadinya belum menguncup dan darahnya masih membara. Tapi ternyata sudah selesai.

Jadi cuma begini yang namanya perkawinan? Dua orang disatukan oleh pemuka agama, mendapat buku nikah, lalu tidur sekasur, kemudian si suami melepaskan calon anak-anak di tubuhnya.

Setelah itu ... sudah.

Bersambung

Hayooooh, gimana nasib pengantin baru ini? Komen pleaseee...

Kelanjutannya, tunggu minggu depan, ya.
Buat yang nggak sabar menanti, langsung aja melipir ke Karya Karsa atau KBM

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang