---18. Tulang Berderik(2)---

1.9K 117 6
                                    

Ina meringkuk di kasur, bergulung di bawah selimut sembari memeluk guling. Napasnya tersengal-sengal karena sejak tadi ia menangis. Ia sendiri tidak tahu apa yang ditangisi. Ia hanya merasa kacau.

Bulan lalu, ia masih mahasiswi dan anak kos yang merdeka. Nilainya bagus. Teman-teman gaulnya banyak. Ia juga punya usaha yang membuat dompet tidak pernah kekurangan. Ia bisa apa saja yang ia mau. Sekarang dunia penuh warna itu mendadak jungkir balik. Ayah tercinta berpulang dan ia menjadi yatim piatu. Kehidupan mahasiswi lenyap dan statusnya kini berubah menjadi istri.

Tahu sendiri bagaimana seorang istri. Tubuhnya dijamah Irham karena lelaki itu sekarang berhak atas raganya. Ia harus menghadapi kehidupan ranjang yang ternyata sangat membingungkan karena membuatnya mengalami segala perasaan aneh, asing, dan serba galau.

Ina merintih. Buliran bening berjatuhan dan semakin membuat alas kepalanya basah.

Bayangan wajah Dika dan sentuhan bibirnya berkelebat. Ina kontan menutup wajah dengan bantal. Malu sekali. Jujur, ciuman Dika tadi sempat membuat mabuk.

Duh, Gusti!

Apakah ia masih Ina yang dulu? Ia bahkan tidak mengenali diri sendiri lagi. Ina kontan memukul-mukul kepala. Pikiran penuh aib dan dosa itu harus disingkirkan segera!

Beberapa waktu kemudian, terdengar suara Irham berbicara pada Mak Nah. Karena jauh dan terhalang pintu yang tertutup, Ina tidak dapat menangkap isi pembicaraan. Yang jelas tak lama kemudian Irham membuka pintu kamar dan menyalakan lampu. Ina menjadi silau. Mau tak mau ia bangkit.

Walau Ina duduk sambil membelakangi, Irham tahu benar Ina menangis. Bahu kecil itu naik turun karena sesenggukan. Ia juga tahu apa yang menyebabkan istrinya begini. Pasti cemburu. Jangan-jangan Ina sempat melihat Adel menggandengnya. Dengan perlahan, ia duduk di samping Ina.

"In? Udah datang dari tadi? Udah makan?" tanya Irham.

Ina melengos. Dari jawaban tanpa kata itu, Irham yakin perut Ina kosong.

"Mak Nah udah panasin mi kerangnya. Tuh, di meja makan. Mau dibawain ke sini?"

Bukannya menjawab, tangis Ina malah semakin keras. Hati Irham antara pedih dan geli. Jahat memang kalau ia geli sekarang. Tapi mau bagaimana lagi, memang itulah yang ia rasakan. Ia seperti membujuk anak kecil yang ngambek minta es krim. Dengan penuh percaya diri, Irham merapatkan tubuh dan merengkuh pinggang istrinya. Ina kontan memutar badan, menghadap tembok.

"Iiiin? Kamu tahu kan aku pernah dikhianati?" bisiknya di telinga Ina hingga membuat perempuan itu merinding. "Aku paham gimana sakitnya. Justru karena itu aku tahu cara menjaga diri supaya nggak melakukan kesalahan yang sama yang bikin kamu sakit hati."

Ina diam, tapi tidak menjauh. Irham segera merapatkan rengkuhan. "Aku nggak ngapa-ngapain sama Adel."

"Tapi tangan Mbak Adel-" Kata-kata Ina terputus karena Irham telah menciumi pipinya.

"Dia emang agak keterlaluan. Tapi cuma gandeng sebentar aja, kok. Kali dia lupa kalau aku udah nikah."

Lupa kalau udah nikah .... Ina seperti diingatkan kalau ia tidak sendiri. Pikirannya kembali melayang ke bibir Dika.

Ya ampun! Ia malah mengalami yang lebih parah dari sekadar gandengan tangan.

Tangan Irham mengelus pipi Ina, lalu turun dengan perlahan. "Aku juga baru tahu Adel bisa begitu. Lain kali aku nggak akan pergi ketemu klien cuma dengan dia. Aku bisa ajak Alfan atau Heru. Atau ajak kamu kalau kamu nggak banyak tugas."

Ina masih bergeming pada posisinya.

"Mmm, besok kan Sabtu. Aku nggak ke mana-mana, khusus nemenin kamu dua hari," janji Irham.

Perkataan terakhir itu berhasil membuat Ina memutar tubuh hingga matanya beradu pandang dengan Irham. Ia memang tidak menemukan hal aneh. Tatapan itu masih milik lelaki yang menjadi kakaknya selama dua puluh tahun, tetap tegas dan sekaligus memberikan ketenangan.

"Janji, Sabtu dan Minggu Mas nggak kerja?" tanya Ina.

Irham menyibakkan anak-anak rambut yang tergerai liar menutupi sebagian pipi Ina. "Janji! Percaya sama aku, ya," ujarnya lembut seraya memberikan senyum menawan yang berakhir di bibir Ina.

Ina menyambut ciuman itu dengan menggebu. Irham pun tidak menyiakan kesempatan, segera menarik Ina ke pangkuan. Sebenarnya ia lelah. Punggung dan pinggang minta direbahkan di kasur. Sederet tulang belakangnya sedari sore tadi berderik seperti engsel kekeringan pelumas. Akan tetapi, ia tidak mungkin meninggalkan Ina yang baru selesai menangis dan tengah memanas. Nanti ngambeknya kambuh lagi, lalu besok pagi ia harus sarapan nasi goreng dengan lombok sebakul. Mau tidak mau, Irham mengerahkan sisa tenaga untuk mengeksekusi Ina hingga keduanya rebah dengan napas terengah.

"In, mi kerangnya masih nunggu di meja makan," ujar Irham mengingatkan. Ia ingin segera terbebas dari belitan Ina.

"Temenin makan, dong?" pinta Ina.

"Oke. Kamu cuci duluan, aku nyusul habis ini."

Ina tersenyum dan segera ke kamar mandi untuk membasuh diri. Padahal ia sudah melakukannya secepat kilat, ternyata saat keluar, Irham sudah mendengkur sambil tengkurap.

"Katanya mau nemenin makan, kok malah ngorok?" Ina ngedumel sendiri dengan bibir maju beberapa senti.

☆---Bersambung---☆

Damai, ternyata. Gak jadi perang dunia. Heheh ... untuk sementara.

Udah lihat wajah Dika di postingan lalu, kan?
Suka mana, Irham atau Dika? Sama-sama ganteng, ya ....

🌻🌻🌻

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang