---38. Fakta (1)---

2.4K 144 55
                                    

Ina keluar kamar setelah mengenakan pakaian. Ia baru ingat menjatuhkan tas di ruang tengah. Ia mencarinya dan menemukan benda itu masih di sana. Wajahnya memucat saat meraih ponsel dan melihat banyak notifikasi missed call dari Irham.

"Mas Ir missed call banyak banget," ujarnya panik, sambil menunjukkan ponsel itu pada Dika.

"Oh, nggak pa-pa. Dia nggak tahu, kan?" jawab Dika. Diam-diam ia memikirkan konsekuensinya. Bagaimana kalau benar-benar kepergok dan jadi masalah besar? Tapi, ia suka Ina sejak lama. Ina pun membutuhkan dirinya. Lagipula, apa yang perlu ditakutkan? Kalau Irham marah dan memergoki mereka, malah bagus. Ina akan segera diceraikan dan terbebas.

Soal orang tuanya? Ah, apa yang bisa dikatakan sang ayah? Kelakuannya di luar rumah sama saja, parah.

"Mas, aku mau pulang. Kita nggak usah ketemu lagi, ya?" ujar Ina lirih.

Dika mengajaknya duduk di sofa ruang tengah, lalu mengambil minuman dari lemari es. "Minum, In," ujarnya.

Ina menerimanya, lalu menyesap beberapa teguk. Melihat Dika yang terlihat tenang, ia malah panik. Bisa-bisanya Dika sesantai ini setelah mereka kecemplung neraka? "Mas, gimana dong?" rengeknya.

Dika menarik tangan Ina untuk duduk bersisian di sofa. Dikecupnya pipi Ina sekali lagi. Rasanya belum puas juga melumat tubuh mungil di sisinya ini. "Kamu bilang nikah dengan Mas Ir itu terpaksa. Apa kamu nggak mikir kalau sebenarnya yang jadi orang ketiga itu Mas Ir? Kamu harusnya sama aku, tapi diserobot dia."

"Tapi nyatanya aku sekarang istri sah dia, Mas."

Dika mengelus pipi Ina dengan lembut. "Kamu nggak mau keluar dari paksaan itu, In?"

Ina mengerjap. "Ma-maksudnya minta cerai gitu?"

Dika dengan gemas memencet hidung mungil Ina. "Kamu cinta sama Mas Ir?"

"Ya, entah. Mungkin cinta kali," jawab Ina jujur.

"Kalau cinta, kenapa kita bisa kumpul di kamar tadi?" goda Dika. "In, aku tahu kamu suka aku sejak dulu. Padahal aku udah mau nembak kamu, loh. Kok tahu-tahu Mas Ir ngaku udah nikahi kamu."

Ina termangu. Ia juga merasa Dika akan menyatakan cinta. Dirinya saja yang gegabah, menerima Irham tanpa berpikir panjang.

"Aku syok waktu di rumah Anin itu. Kalau kondisinya normal, rasanya nggak mungkin kamu mau nikah sama Mas Ir. Umurnya kan jauh banget. Duda cerai lagi. Kamunya masih imut gini. Kok absurd banget. Aku bisa ngerti kenapa kamu nutup-nutupi pernikahanmu."

Ina menggigit bibir. Dugaan Dika tepat sekali. "Emang aku sama Mas Ir kelihatan njomplang banget, ya?" (tidak seimbang)

"Banget!" balas Dika mantap. "Anin aja nggak habis pikir. Ternyata bener, kamu terpaksa."

Perasaan Ina kontan campur aduk. Benar, ia malu memiliki suami tua dan duda. Benar, ia setengah terpaksa menerima pinangan Irham. Tapi bila mengingat Irham, ada yang menyentak hati, membuatnya tersayat dan nyeri. Ia telah menikam lelaki itu dari belakang.

"Masa baru nikah udah minta cerai? Ntar aku hidup sama siapa, Mas? Bisa-bisa aku dibuang di kolong jembatan."

"Sama aku, dong! Bentar. Kamu beneran nikah karena terpaksa, kan?" tanya Dika lagi.

Mau tak mau Ina mengangguk. "Konyol ya, Mas?"

Dika merengkuh Ina. "Aku paham, sih. Kamu pasti galau banget waktu itu. Sayangnya, kenapa kamu nggak bilang-bilang sama aku dulu? Atau paling nggak curhat sama Anin?"

Ina tidak bisa menjawab. Dulu, ia pikir menikah dengan Irham akan membuat hidupnya mudah dan terjamin. Ternyata malah sebaliknya, jungkir balik.

Melihat Ina terdiam, Dika merasa kasihan. "Lebih baik pisah sekarang daripada menderita seumur hidup, In. Terus terang, aku nggak tega nasibmu begini."

Ina menggigit bibir. "Aku ... aku nggak tahu, Mas. Aku bingung."

"Jangan bingung," ujar Dika dengan mantap. "Minggu depan, aku maju sidang skripsi. Bentar lagi lulus. Om aku nawarin kerjaan di perusahaannya. Aku malah udah disuruh magang sehabis sidang. Jadi pas kamu bebas, aku udah bisa nanggung hidup kamu."

"Terus selama aku belum bebas gimana?" tanya Ina.

Dika tersenyum manis. "Kita jalani aja apa yang ada, ngalir kayak tadi."

"Aku nggak tahu harus jawab apa," keluh Ina.

Dika tersenyum lebar. "Ya udah, nggak usah dipikir berat-berat. Anggap aja main-main, selingan kalau kamu sumpek di rumah. Yang tadi itu asyik, kan?"

Ina memandang lekat-lekat wajah rupawan berbibir merah basah itu. Semua ini memang terasa seperti permainan baginya. Keluar diam-diam, lalu menikmati kebersamaan secara sembunyi-sembunyi, memang sangat mendebarkan.

"Seru enggak?" tanya Dika lagi.

Ina mengangguk perlahan. Dika kegirangan. Bibirnya kembali mendarat di bibir Ina. Kali ini Ina tidak membalas. Didorongnya dada Dika dan segera bangkit.

"Aku mau pulang!"

☆---Bersambung---☆

Naah, kaaan?

Komen, yuk!

Buat yang udah mulai ragu cerita ini layak dilanjutin buat dibaca atau enggak, yuk cek bab Kuesioner dan baca kesan-kesan pembaca sebelumnya.

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang