---36. Tempat (1)---

1.7K 197 56
                                    

Adel beberapa kali datang ke ruko. Ia juga mengajak Irham makan siang atau makan malam dengan klien. Ina tahu karena setiap kali Irham mengajaknya.

"Aku mau ketemu klien di Carnaviore Steak malam nanti. Mau ikutan?" tanya Irham pagi itu saat sarapan.

Ina mendongak, sejenak mengamati wajah berhidung mancung di depannya. Kantung mata Irham lebih hitam dari biasa karena beberapa hari terakhir bekerja hingga lewat dini hari. "Sama siapa aja? Ada Mbak Adel?"

"Iya. Makanya aku ajakin kamu biar nggak mikir macem-macem."

Ina merengut. "Aku jadi obat nyamuk, dong."

"Nggak ada nyamuk di sana. Full AC, kok. Mau nggak? Tenderloin-nya empuk banget, loh. Kamu pasti suka."

Ina membayangkan wajah Adel. Apakah ia sanggup melihat perempuan itu mendamba suaminya terang-terangan di depan mata? "Enggak, ah. Aku di rumah aja."

Irham tersenyum lebar. "Bener nggak cemburu? Ntar tahu-tahu mata-matain aku."

Ina mencibir. "Nggak lucu!" semburnya.

"Siapa bilang nggak lucu? Lucu banget, kok. Apalagi pas kamu nanya, 'Bapak ini siapa, ya?' Ingat nggak?"

Wajah Ina kontan merah padam. Irham yang semula hendak terbahak, langsung mengatupkan mulut. 

"Aku nggak cemburu! Terserah Mas mau ngapain sama Mbak Adel!" tukas Ina.

"Loh, aku cuma bercanda. Jangan sewot!" balas Irham. 

Ina tidak menggubris. Ia segera menyudahi acara sarapan, lalu masuk ke kamar. Sebenarnya ia memang tidak terlalu pusing lagi dengan kehadiran Adel. Ia sudah menemukan cara bagaimana mengatasi perasaan itu. Setiap ada Adel, ia menghubungi Dika. Lalu mereka teleponan sambil saling pandang dari jauh. Dika di Taman Mundu, ia di balkon lantai tiga. 

Ina sudah memegang ponsel hendak menghubungi Dika. Namun, pagi ini Irham tidak segera turun, malah membuntuti ke kamar. Irham menangkap tangannya, lalu menariknya ke dekat ranjang. Ina tahu bahasa tubuh ini. Irham tengah membutuhkan kepuasan. Ia diam saja, menjadi istri penurut dan pasif sesuai harapan Irham.

Tanpa mengatakan apa-apa, Irham menarik kaus Ina ke atas, lalu meloloskannya dari lengan. Tubuh mungil terpampang di hadapan. Melihat itu, lingganya meronta dan menggeliat ingin diloloskan juga. Ia segera membuka kancing kemeja dan celana. 

Melihat Irham menjatuhkan baju satu demi satu, Ina ikut membuka miliknya. Satu demi satu kait dilepas perlahan. Satu demi satu pula penutup badan itu diloloskan dari tubuh hingga semuanya terbuka. Sesudah itu ia menunggu. Ia menjalaninya secara otomatis, tak ubahnya melakukan rutinitas keseharian seperti menanak nasi. Sudah tidak ada kesenangan, yang ada hanya kewajiban.

Irham menariknya ke ranjang. Ina merebahkan diri perlahan. Ia sudah kehilangan kreativitas dan hanya bisa pasrah. Irham mulai menciumi pipi dan dada sejenak. Rupanya lingga miliknya telah terpegang sempurna. Kedua tungkai Ina dibentangkan. Beberapa detik kemudian, Ina merasakan tubuhnya berguncang karena dorongan lrham. Ina memejamkan mata sambil menerima saja hingga Irham selesai. Lelaki itu rebah dengan napas terengah di sisinya, sementara ia berkeringat pun belum.

Mereka berbaring bersisian tanpa bicara. Ina mengeluh diam-diam. Selalu seperti ini. Ia seperti benda mati, tanah tempat menebar benih, bukan orang yang punya perasaan dan keinginan. Apakah memang seperti ini yang disebut pernikahan?

☆---Bersambung---☆

Irham garing nggak, sih? Atau Ina yang kebanyakan nuntut?

Sobatnya Fura, berikan komentarmu, please


Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang