---42. Ingkar(1)---

1.2K 133 49
                                    

Hari Senin tiba. Irham sengaja bangun siang karena sudah berjanji pada Ina untuk cuti. Ia bahkan membantu istrinya membuat sarapan, walau sambil diomeli Ina karena membuat dapur berantakan.

Ina dan Irham sepakat mematikan ponsel. Mereka sudah membuat komitmen, tidak akan memegang gawai sehari itu. Ternyata ada saja cara orang untuk mencari mereka. Rupanya karena ponsel tidak aktif, orang itu menghubungi melalui telepon rumah. Benda yang terletak di ruang tengah itu kini berdering.

"Diangkat nggak?" tanya Irham pada istrinya.

Ina cuma melengos. Itu berarti tidak. Irham membiarkan saja benda itu meraung berkali-kali. Tak lama kemudian, Mak Nah naik.

"Mas Ir, Bu Kar telepon, nanya kenapa nggak ada yang mengangkat teleponnya."

Irham menoleh kembali pada istrinya, meminta persetujuan. "Mama, In. Gimana?"

Ina terpaksa mengangguk. Masa ibu mertua tidak diperbolehkan menelepon? Bisa-bisa mereka dikutuk menjadi batu nanti.

"Iya, Mak. Aku hubungi mama sekarang," sahut Irham. Ia mendekat ke telepon, lalu mengangkat gagangnya dan memencet nomor rumah di Malang.

"Halo, Ma. Tadi telepon?"

"Iya. Apa kabar kalian? Mama mau jenguk ke sana, tapi takut kamu omeli Covid."

"Baik-baik aja. Mama gimana, sehat?"

"Sehaaat! Ngomong-ngomong, gimana kabar Ina? Kuliahnya lancar?"

"Lancar. Tiap hari ngerjain tugas," jawab Irham. Ia baru ingat tidak pernah mengecek perkembangan kuliah istrinya. Apa yang dilakukan Ina di depan laptop sepanjang pagi? Apa perlu ia hack juga gawai itu?

"Oooh, bagus. Semoga lancar dan cepat wisuda," sahut Kartini.

Irham mencium bau-bau kecenderungan lama. "Kenapa, Ma?"

"Oh, enggak. Bagus kalau cepat wisuda. Kamu dulu bilang, program hamilnya nunggu Ina lulus biar nggak mengganggu kuliah."

Irham kontan mengembuskan napas. Dugaannya tidak meleset! 

Anak lagi, anak lagi! 

"Ma, tolong jangan nanya itu terus, apalagi sama Ina. Kasihan, dia masih kecil." Jujur, ia sudah lupa pernah membahas program hamil itu. Ina pun tidak pernah meminta untuk menggunakan alat kontrasepsi.

"Heeeh, ya enggak. Dia kan istrimu. Kamu yang harus ngomong sama dia."

Andai waktu dengan Dwita dulu Mama juga begini, mungkin ....

"Ir, Mama pesan, pernikahan kedua ini harus kamu jaga baik-baik. Jangan sampai gagal lagi. Mama sudah tua, sudah nggak sanggup kalau harus melihat kamu mengalami huru-hara rumah tangga lagi."

Irham menghela napas dalam. Ia khawatir rumah tangganya saat ini sedang mengalami cobaan. "Bantu kami dengan doa, ya, Ma."

"Pasti! Oh, ya. Adel kok kirim-kirim parsel ke Mama? Kalian nggak ada hubungan apa-apa lagi, kan?"

Alis Irham tertaut. Perkembangan apa pula ini? "Kirim parsel apa aja?"

"Baru dua kali, sih. Yang pertama macam-macam kue. Yang kedua cangkir satu set. Katanya dia dapat promosi dari klien. Karena takut dianggap gratifikasi, dia minta pihak pemberi mengirim ke Mama."

"Ah, alasan itu! Jangan diterima!" tukas Irham.

"Kamu masih ada hubungan bisnis sama dia?"

"Yaaaa, aku dapat tiga klien gede karena dikenalin dia."

"Apa nggak bisa kalau nggak pakai dia, Ir? Adel baik, sih, sebenarnya. Pas juga buat dampingi kamu karena dia pinter bisnis. Tapi kamu sudah punya Ina. Kamu harus bisa menjaga perasaannya. Biarpun kamu pikir masih kecil, dia istrimu. Pasti ada rasa cemburu kalau mantanmu melengket terus. Rezeki itu datangnya dari Yang di Atas. Kamu pasti akan diberi jalan, nggak akan kekurangan."

"Iya, Ma. Aku selesaikan dulu dua klien lagi. Soalnya udah setengah jalan. Habis itu aku stop sama Adel."

"Mama itu khawatir, Ir. Kalau istri sering nangis, pasti ada masalah. Jangan dianggap sepele."

Kepala Irham langsung dibanjiri uap panas. Emosi. Siapa yang mengadukan masalah Ina ke ibunya? Jangan-jangan Adel. Atau Mak Nah?

"Ya udah, Mama akan pikirkan cara supaya Adel nggak ngeriwuki kamu lagi. Oh, ya, Ina mana?" tanya Kartini. (merecoki)

"Ada, Ma." Irham memberikan gagang telepon ke istrinya. Setelah itu, ia cuma mengamati Ina berbasa basi dengan ibunya. Ina terlihat mengangguk beberapa kali sambil mengiyakan. Pasti sang ibu tengah memberikan wejangan.

Setelah selesai menelepon, Ina kembali merengut ke suaminya. "Mas Ir ngadu ke mama kalau aku sering nangis?"

"Aku? Udah setua ini masa ngadu?"


//////////////////

Nah, mau ribut apa lagi, ya? 

Sabar, ya, nunggu besok pagi up bagian 2

Ina-Irham sekarang hadir di Bestory. Judulnya: My Little Wife. Di sana udah bab 51

 Di sana udah bab 51

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang