---19. Otak Berpasir (2)---

2.6K 283 158
                                    

Terimakasih buat sobat semua yang udah mendermakan emot api-api berderet-deret. Uwuwu! Luv u al!

☘☘☘


Irham hafal. Kalau Ina sudah begitu, tandanya ia harus melarikan diri cepat-cepat. Kalau tidak, cubitan Ina akan mendarat di pinggang. Jari Ina kecil-kecil, cubitannya juga kecil. Justru yang kecil itu panas rasanya.

Melihat suaminya berdiri dan menghindar, Ina terbengong. "Mas mau ngapain?"

Irham menjadi salah tingkah sendiri. "Mau lari. Takut kamu cubiti. Kok kamu nggak ngejar, sih?"

"Emang Mas pikir aku anak kecil?" Ina ngedumel sambil membereskan piring bekas Irham.

Melihat itu, suaminya kembali ke meja, langsung ke samping Ina. Sebuah kecupan didaratkan di tengkuk yang putih.

"Jujur, aku masih sering merasa kamu adik kecil," bisik Irham.

Sudah pasti Ina mendelik mendengar itu. Irham terkekeh. Dikecupnya bibir yang tengah manyun itu. "Kecuali kalau pas kita gini," bisiknya. Ia menarik kursi di samping Ina, lalu duduk dan merapatkan tubuh.

Kekesalan Ina menguap begitu saja, terbakar panas yang tersulut. Ia membalas Irham dengan sama panasnya. Kecupan-kecupan itu berlanjut dengan Ina naik ke pangkuan Irham. Lelaki itu terdiam sesaat.

"Mau lagi?" tanyanya.

Ina mengangguk sambil melampiaskan kegemasan pada tahi lalat di leher Irham. Sekarang lelaki itu termangu sejenak. Ia baru tahu di balik badan kecil Ina ternyata tersimpan tenaga membara yang tak ada habisnya. Dwita saja tidak seperti ini. Tapi kalau ditolak, ia merasa tidak enak. Akhirnya Irham mengajak Ina ke kamar, lalu mengeksekusinya sekali lagi.

Begitu selesai, ia langsung ke kamar mandi, sementara Ina masih tergolek dengan dada naik turun. Matanya nanar menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Lebih nanar lagi saat Irham keluar, bukannya rebah di sampingnya, malah mengambil celana denim panjang dan kemeja dari lemari.

"Mas mau ke mana?"

"Mau ke bawah."

"Loh, katanya Sabtu dan Minggu Mas nggak kerja?"

Irham mengancingkan baju sambil tersenyum. "Iya, aku nggak kerja, kok. Cuma duduk-duduk aja di toko."

"Itu nggak kerja namanya?"

"Enggak. Aku kan cuma duduk-duduk, nggak ngapa-ngapain. Aku juga di rumah aja, nggak ke mana-mana," sahut Irham tanpa merasa bersalah.

"Mas, itu namanya kerja!" tukas Ina kesal. "Mana bisa duduk di toko tapi nggak ngurus kerjaan?"

Irham mengangkat bahu. "Kalau nggak duduk di toko terus aku ngapain di atas sini? Masa mau nguyel-uyel kamu terus?" [bergumul sambil mempermainkan]

Ina kepengin menangis saja. "Trus aku ngapain di atas sini sendiri?"

"Kamu bisa masak makan siang atau nyobain resep baru. Bisa cari bahan buat tugas kuliah. Banyak, kan?"

"Tugas kuliah udah kelar. Lagian Mas Ir nggak kasih aku izin buat jualan online. Terus aku ngapain online dan pegang laptop kalau cuma browsing-browsing aja? Kalau nggak menghasilkan uang, online itu hampa banget."

Irham yang telah selesai mengancingkan baju dan memasukkan kemeja ke balik celana, bergerak mendekati istrinya. "Aku nggak larang kamu jualan online. Yang aku larang itu, pergi-pergi ketemu orang. Risiko kena Covid. Ntar kalau udah nggak pandemi, kamu boleh jualan sepuasmu."

"Itu sama aja, Mas. Gimana mau jualan kalau nggak ketemu orang?"

Irham menggaruk kepala. "Barangnya beli online, lalu dikirim pakai kurir online juga."

"Mana ada untungnya kalau gitu, Maaas?" rengek Ina.

"Ya udah. Setop dulu jualannya sementara," sahut Irham santai. "Kamu kan udah dapat transferan dari aku. Kesehatan itu nomor satu."

Ina cuma bisa manyun. Irham kembali mengecup pipinya.

"Udah, ya. Aku mau ngawasin anak-anak bongkar barang yang baru datang tadi," pamit Irham.

"Kenapa juga barang datangnya malam-malam?" gerutu Ina.

"Sengaja. Kalau nggak gitu ganggu lalu lintas."

"Tapi makan siang nanti Mas Ir naik, kan?"

"Iya, aku makan siang sama kamu. Mudah-mudahan udah kelar juga bongkar-bongkarnya."

Ina menarik leher Irham hingga lelaki itu rebah di atas tubuhnya. "Suuunn!" (cium)

Irham berdecak, lalu mengabulkan permintaan istrinya. Tapi saat akan bangkit, Ina malah semakin mempererat belitan.

"In! Udah, ah! Nanti lagi," tegur Irham karena merasa jengah. Ia segera menarik diri. Kini ia bisa memandang wajah istrinya dengan lebih jelas. Sepasang mata yang biasanya polos kekanakan itu terlihat mendamba. Sebuah tanda tanya menyala di kepala Irham. Apa ada yang salah dengan Ina? Apa ia perlu mengajarkan cara mengendalikan hawa nafsu?

"Jangan mikirin gituan terus. Nanti otakmu penuh pasir, In!"

Ina yang kaget karena nada teguran itu, langsung melepaskan suaminya. "Mas?" bisiknya dengan terluka.
.
.
.

 "Mas?" bisiknya dengan terluka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

☆---Bersambung---☆

🍛🍛🍛

Komen, yuuuuks!

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang