---41. Peringatan (2)---

1.2K 137 36
                                    


"In, Ina!" seru Irham. Ternyata istri kecil itu bisa berjalan sangat gesit. Ia kewalahan menyusul. Baru saat berada di luar toko, ia berhasil meraih tangan Ina.

"Mas! Aku mau keluar!" sembur Ina sembari berusaha mengibaskan tangan Irham. Ternyata cengkeraman lelaki itu cukup kuat. Tangannya tidak terlepas.

"Mau ke mana?" tanya Irham.

"Aku mau jalan! Bosen di rumah!" balas Ina. "Mas, lepasin. Sakit, nih! Tuh, dilihatin anak buah Mas Ir. Nggak malu?"

"Mau jalan sama siapa?" desak Irham tanpa menghiraukan keluhan Ina.

Diam-diam Ina menelan liur. Jangan-jangan Irham telah mengetahui kebohongannya. "Sendiri! Emang mau sama siapa?"

Mulut Irham terbuka hendak mengucap "Brio merah", tapi saat ia melayangkan pandangan ke Taman Mundu, kendaraan Dika sudah tidak di sana. Ia jadi tidak punya bukti.

"Ya udah. Tunggu bentar," ujarnya. Ia menarik Ina ke toko, lalu memberi perintah pada salah satu pegawainya untuk mengambilkan dompet dan kunci mobil di kantor lantai dua.

"Mas, lepasin tanganku! Malu-maluin!" gerutu Ina. Mukanya sudah panas karena anak buah Irham dan beberapa pengunjung toko melihat ke arah mereka dengan senyum penuh arti.

Irham cuma melirik istrinya sekilas tanpa berniat melepaskan genggaman. "Emang kenapa? Kalau aku gandeng Adel, baru namanya malu-maluin."

Ina terpaksa diam menahan malu sambil berdiri di sisi Irham.

"Mas Ir dan Mbak Ina kapan bulan madunya? Mas Ir, ih. Uang aja dicari. Sekali-sekali romantis gitu, loh." Yunita, staf pembelian merangkap admin toko dan kepala SPG, menggoda bosnya tanpa sungkan. "Nanti kalau keburu cabang satunya buka, nggak ada waktu loh, Mas."

Ina kontan menoleh ke Irham. Suaminya mau membuka cabang? "Mas Ir mau buka cabang di mana?"

"Waru."

Rumah Mbak Adel kan di daerah Waru juga?

Mendidihlah darah Ina. Ia ingin bertanya, sayang, pegawai yang diminta mengambil kunci dan dompet keburu datang. Irham menerima kedua benda itu, lalu menariknya keluar.

"Lepasin kenapa, sih? Aku nggak akan kabur!" protes Ina.

Irham pura-pura tuli sehingga Ina semakin emosi. "Kayak ngajak anak kecil," gumamnya.

Baru saat membuka pintu mobil untuk Ina, Irham melepas genggaman.

"Tumben bukain pintu. Takut banget aku kabur," rutuk Ina. Orang yang diomeli seperti tembok, tidak bereaksi apa-apa.

Irham masuk ke mobil. "Mau ke mana?" tanyanya datar.

Ina melengos. "Nggak tahu! Udah lupa!"

"Hmmm. Ya udah." Irham menjalankan mobil tanpa bicara. Ia memutar otak, mencari tempat yang enak untuk didatangi. Sebuah ide menyala tiba-tiba.

Irham memutari Taman Mundu, lalu melaju ke arah Kompleks Teratai. Diam-diam ia mengamati Ina dan sekitar. Ia menemukan Brio merah tengah parkir tak jauh dari muara Jalan Nanas.

Hmmm, di situ kamu rupanya.

Diliriknya Ina. Ternyata istrinya juga menoleh ke arah Brio merah, lalu mengetik sesuatu di ponsel.

Pasti mau bilang rencana kalian gagal, kan?

Dari muara Jalan Nanas ke muara Jalan Teratai hanya membutuhkan waktu lima menit. Irham membelokkan mobil ke kompleks yang memiliki taman kecil bernama Taman Teratai itu.

"Mau ngapain ke sini?" tanya Ina. Hatinya merasa tidak enak.

"Nostalgia. Dulu aku suka main tenis di situ." Irham menunjuk lapangan tenis di area taman.

"Oh." Ina berusaha menutupi debaran jantung yang mulai tak beraturan. Apalagi saat mobil berjalan perlahan mendekati rumah bercat kuning gading, keringat dingin mulai membasahi kening dan telapak tangan.

Untung Irham hanya lewat saja. Tak lama kemudian, mobil mereka berputar arah. "Di situ ada kompleks sekolahan," ujar Irham sambil menunjuk bangunan panjang di sisi kiri jalan. "Ada SMK Mater Amabilis. Ibumu dulu sekolah di situ. Jurusan Tata Boga. Kamu tahu, kan?"

Ina menoleh ke kiri. Kompleks yang lengang itu membuat Ina membayangkan ibunya pernah hilir mudik di daerah ini. "Iya," jawabnya dengan serak.

"Jangan sedih," ujar Irham. "Aku keluargamu sekarang. Jangan pernah lupa itu."

Kalimat yang diucapkan dengan lirih itu menggetarkan dada Ina. "Iya, Mas."

"Aku berhak tahu ke mana kamu dan sedang apa. Aku nggak mau terjadi hal buruk sama kamu. Jadi tolong, jangan bohong atau nutup-nutupi kegiatanmu di luar rumah."

Ina menggigit bibir. Mengapa ia merasa Irham mengancam? Apakah Irham tahu perbuatannya dengan Dika? "Mas Ir juga!" ucapnya spontan.

Irham menoleh. "Loh, kok balik ke aku?"

"Mas Ir jangan nutup-nutupi kegiatan Mas Ir sama Mbak Adel!" ucap Ina sengit.

"Aku ngapain sama Adel? Nggak ada apa-apa, kok."

"Itu tadi apa? Janjian makan siang, sampai dibawain katering segala."

"Adel ngarang. Aku nggak janjian, kok!"

Ina merengut. "Aku dengar sendiri, Mbak Adel bilang udah janjian sama Mas Ir! Masih mau ngeles?"

"Itu kan bisa-bisanya Adel," sahut Irham santai.

Ina tidak mau mencecar lebih lanjut, takut nanti dicecar balik. "Ya udah. Kali ini aku percaya."

"Kamu tadi beneran mau pergi sendiri, nggak janjian sama orang?"

"Enggak!" jawab Ina dengan setengah memekik.

"Ya udah. Kali ini aku percaya," sahut Irham.

Awas kalau sampai aku tahu kamu janjian sama Dika lagi!

☆---Bersambung---☆

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang