---59. Jangan Menyesal (2)---

1K 165 123
                                    

"Mas Dika!" protes Ina.

Dika bergeming dan malah tersenyum manis. "Itu anakku, dong? Aku siap kok buat tanggung jawab. Aku udah lulus, tinggal nunggu ijazah. Terus sama om, aku disuruh berangkat kerja. Boleh pilih, Semarang atau Batam. Nikah, yuk, terus kita ke Batam. Dari sana kalau mau ke Singapore tinggal nyebrang."

Ina tidak menanggapi, malah ingin kembali ke dalam. "Mas, udah! Cepetan pulang!"

"Loh, In? Aku nggak disuruh duduk?" Tanpa basa basi, Dika mendaratkan pantat di kursi teras. "Aku haus, nih. Bisa minta minum?" pintanya sambil mengangkat-angkat alis. Di balik masker, mulutnya menyunggingkan senyum lebar.

Ina merengut. "Mas! Cepet pulang!"

"Aku tuh kangen banget sama kamu. Sini, temani aku ngobrol!" Dika memberi isyarat dengan dagu ke kursi di sebelahnya.

Sudah pasti Ina tidak mau menurut. "Hubungan kita udah selesai! Kapan sih Mas paham?"

Dika tetap tersenyum penuh percaya diri. "Jangan bohongi diri kamu sendiri. Kamu cinta aku, kan?"

"Aku nggak cinta sama Mas!"

Dika kontan menaikkan alis, tanda tidak percaya. "Nggak cinta? Kenapa kamu-"

"Mas Dika! Cinta itu nggak sama dengan seks!"

"Eh, nggak bisa gitu, In! Ada cinta makanya ada seks." Dika membantah dengan semangat delapan enam.

"Kalau Mas beneran cinta aku, mestinya Mas mundur waktu tahu aku udah nikah. Bukan malah kasih aku ekstasi!"

"Kamunya juga mau!"

"Iya, kita salah! Karena itu udahan sampai di sini aja. Jangan bikin salah untuk ketiga kali!"

"Oooo, nggak segampang itu ferguso! Kalau kamu hamil anak aku gimana?"

"Jangan ngarang! Pulang nggak, nih?"

Dika melengos. "Enggak!"

Ina tidak menjawab, langsung berjalan cepat ke arah rumah utama, meninggalkan Dika.

"Hei! Kamu mau ke mana?" Dika terpaksa mengejar Ina ke depan.

Sampai di depan, Ina membelok ke rumah utama. Ada bapak kos sedang mengelap mobil di halaman. Cepat-cepat ia mendekat.

"Pagi, Pak. Bisa bantu saya?"

Bapak kos menegakkan tubuh, memandang bergantian pada Ina dan Dika. Dika ikut mendekat dan tersenyum ramah sembari menyalami pria itu.

"Saya Dika, Pak."

"Saya Munawar. Oh, maaf, selama pandemi kita nggak boleh salaman, ya." Munawar menangkupkan kedua tangan di depan dada untuk membalas salam Dika.

"Maaf, Pak."

Munawar menoleh pada Ina. Perempuan itu segera tanggap.

"Pak, bagaimana ini? Saya nggak cinta sama orang ini, tapi dia ngejar terus!" Ina langsung nyerocos.

"Dia bohong, Pak. Saya tahu dia cinta sama saya," bantah Dika.

Mulut Munawar membulat. "Ooo, jadi Mas ini yang bikin Ina dan suaminya ribut?"

Dika meringis dan serba salah di depan Munawar. "Oh, ini salah paham, Pak. Saya serius kok sama Ina. Saya siap nikahi Ina, kalau dia sudah cerai."

Mendengar kata cerai, hati Ina kontan meledak. "Mas Dika!" pekiknya. Ia mengambil selang air, lalu menyalakan kran. Ujung hose-nya ia arahkan ke muka Dika. "Pulang nggak?!"

Alih-alih takut dan lantas pergi, Dika malah mendekat sambil membusungkan dada. "Semprot aja, In. Aku rela demi kamu!"

Ina kontan mendelik. Mata bulatnya melebar maksimal. Ia menoleh pada Munawar. "Pak, gimana ini? Tolong saya. Nanti urusan saya sama Mas Ir makin runyam kalau ada orang ini."

Munawar segera bertindak. "Mas Dika, ikut Bapak ke rumah! Ina, kamu balik ke kamar. Biar Bapak yang bicara sama Mas Dika."

Dika tertegun sejenak. Masa ia harus ketemu bapak kos yang tidak dikenal? Buat apa? Urusannya adalah dengan Ina, bukan? Ia sudah bisa menduga apa yang akan dibicarakan lelaki paruh baya itu. Paling-paling wejangan rohani, tentang dosa dan neraka. Ia malas!

"Oh, maaf, maaf. Saya pamit aja kalau gitu. Permisi, Pak." Dika menoleh ke Ina. "Kamu beneran udah nggak mau sama aku?'

"Iya, Mas! Aku udah ngomong berkali-kali!"

Mata Dika meredup. Jelas sekali ia kecewa. "Aku masih nggak ikhlas. Tapi ya udah kalau itu mau kamu."

"Maaf, Mas," ucap Ina.

"Ya udah aku pergi. Jangan cari aku lagi. Semoga kamu nggak nyesel kalau sampai kamu hamil anak aku, In." Dika membalikkan badan, lalu menderap menuju mobilnya.

Ucapan dan tatapan dingin yang Dika lempar sebelum pergi membuat Ina menggigil. Benarkah ia hamil?

☆---Bersambung---☆

Komen, please ....

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang