---53. Masih Marah (1)---

611 89 3
                                    

Makasih buat yang udah vote dan komen.
Ini up lagi yak.
=====

Irham frustrasi melihat istrinya kembali tersedu. Ia memang masih marah pada Ina, tapi mendengar kata cerai dari mulut mungil itu, ada yang menggigil di dalam kalbu. Ia tidak rela!

"Kamu udah nunggu-nunggu buat cerai, In? Kamu udah kebelet mau nikah sama anak ekstasi itu? Kok enak banget!"

Ina menggeleng beberapa kali. "Bukan begitu. Aku cuma merasa Mas Ir udah nggak mau sama aku."

Irham yang telanjur bad mood mengempaskan diri ke kursi. Semua ini membingungkan. Mendadak ia merasa menjadi orang tolol. Sudah tahu hatinya belum bisa menerima perbuatan Ina, mengapa datang juga ke tempat ini?

Ina mengeringkan air mata karena tahu Irham akan semakin marah kalau ia menangis. "Mas Ir, aku memang salah. Aku udah berdosa besar sama Mas Ir. Tapi aku nggak ada niat buat cerai, apalagi nikah dengan Mas Dika."

Irham mendengkus. Melihat itu, Ina semakin merana. Sok yakin sekali kedengarannya, mengatakan tidak mau bercerai. Apakah di mata Irham dirinya masih berharga untuk dipertahankan?

Cukup lama Ina berada di depan suaminya, menunggui lelaki itu menerawang keluar sambil membisu. Irham duduk di depannya, di sisi kanan sehingga wajahnya terlihat dari samping kiri. Tahi lalat mungil terpampang nyata, seakan mengejeknya. Rambut Irham yang lurus dan kaku dipotong pendek sehingga sebagian berdiri. Gel rambut membuatnya terlihat basah dan menambah kesan maskulin. Pesona itu menyeret Ina ke jurang penyesalan. Semua itu dulu miliknya. Sekarang untuk memandangnya pun ia merasa tidak berhak.

Karena tidak tahan membisu sambil serba salah terus, Ina menyeduh kopi, lalu meletakkannya di meja.

"Kopinya, Mas," ujarnya untuk mempersilakan Irham minum.

Irham melirik kopi itu sejenak, lalu melengos. Hatinya malas menerima pemberian Ina. Namun, perutnya tengah kosong, sedangkan aroma kopi itu terlalu harum untuk tidak diacuhkan. Tangannya bergerak sendiri, mengambil cangkir, lalu ia menyeruput isinya perlahan.

"Mas Ir udah makan?" tanya Ina hati-hati.

"Nggak usah, aku udah mau pulang," sahut Irham.

Ina mengangguk, walaupun sebenarnya kecewa. Ia ingin Irham lebih lama bersamanya. Biarpun lelaki itu datang hanya untuk marah-marah, ia rela.

"Mulai besok, tolong jangan jualan di trotoar lagi," ujar Irham tanpa memandang istrinya.

Ina merasa terlalu sayang meninggalkan aktivitas itu karena hasilnya lumayan. "Tapi—"

Irham menoleh dan menatap Ina dengan tatapan tajam. "Jangan jualan di trotoar lagi!" ucapnya dengan lebih perlahan dan penuh penekanan. "Tugas utama kamu sekarang ini lulus kuliah tepat waktu. Paham?"

Mau tak mau, Ina harus setuju. "I-iya, Mas."

Aku paham. Supaya Mas Ir nggak terlalu lama menanggung hidupku, kan?

Selanjutnya, Irham kembali menyesap kopi sambil diam melamun. Ina tidak punya pilihan lain kecuali menemani sambil membisu juga. Ia melirik tangan Irham. Terlihat jari manis suaminya tetap kosong. Ina menarik napas, berusaha tabah.

Nggak kamu anggap pun nggak pa-pa, Mas Ir.

Mereka kembali saling diam. Perut Ina mulai meronta. "Mas Ir nggak mau makan di sini?"

Irham menoleh jam tangan. Ia baru sadar sudah lewat saatnya makan malam. "Kamu udah lapar?"

Ina mengangguk. "Mas Ir mau ikut makan?"

Irham sudah ingin pulang, tapi melihat mata bulat dan bibir mungil Ina, ia enggan mengangkat pantat dari kursi. "Kamu punya apa?"

Ina meringis. "Ada serundeng, Mas. Mau? Atau mau dimasakin mi?"

"Serundeng aja."

Ina langsung melesat ke dalam guna mengambil makan malam. Sepiring nasi dan dua potong daging serundeng disajikan di depan Irham. Aroma harum nasi yang mengepul membuat Irham lupa pada kemarahannya. Ia menyantap makanan itu dengan lahap.

Ina tersenyum diam-diam menyaksikan pemandangan indah itu. Ia ikut menyantap nasi dan serundengnya. Setelah sebulan berlalu, baru kali ini mulutnya bisa merasakan gurihnya makanan.

☆☆☆

Satu jam kemudian, Irham pulang.

Sampai di kamar, ia langsung membuka lemari dan mencari kotak perhiasan. Dari dalam kotak kayu cendana yang berukir itu, ia mengeluarkan cincin Ina. Diamatinya sejenak huruf yang terukir di sisi dalam.

Inaya Paramesti.

Entah mengapa, setelah semua peristiwa memilukan ini, nama itu justru semakin menggores dalam. Indah, sekaligus menyakitkan. Ia memasukkan cincin itu ke jari manis. Sejenak dadanya menjadi sesak. Benda simbolis itu mengingatkan Irham pada perkawinannya.

Irham sadar, cepat atau lambat, ia harus membuat keputusan. Apakah ia akan memaafkan dan menerima Ina kembali? Bisakah hatinya selapang itu setelah memergoki perzinahan? Kok enak sekali bagi Ina. Masa setelah menginjak-injak harga dirinya, perempuan itu tidak mendapat konsekuensi apa pun? Sebaliknya, saat kata cerai terbayang dalam benak, Irham juga tidak ikhlas.

Ooo, enggak, enggak! Nanti keenakan Ina!

Perempuan itu bisa langsung melenggang menggandeng Dika. Atau, ia gantung saja status Ina seterusnya sebagai hukuman?

Irham sudah lelah. Ia tidak mau memikirkan yang berat-berat. Minggu depan ia harus memasang instalasi jaringan di Jombang. Esok dini hari, barang satu kontainer datang. Tidak ada waktu untuk hal-hal sentimental seperti ini.

Cincin itu dilepas, lalu dikembalikan Irham ke tempatnya.


///////////////////

Besok pagi up lagi.

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang