---54. Belum Sembuh (1)---

617 83 5
                                    

Dua hari dua malam, Ina lembur untuk mengepak dan mengirim barang dagangan yang ia jual melalui toko online. Ia bolak-balik antara indekos, pasar, dan kantor ekspedisi. Sebagian yang cukup banyak volumenya, ia minta kurir untuk menjemput ke indekos. Akhirnya malam kemarin, selesai sudah semua tugas itu. Ina ingin istirahat dari kesibukan berjualan sehingga ia tidak berniat menyetok barang. Irham sudah menitahkan untuk fokus kuliah. Ia tidak mau memicu kemarahan lelaki itu lagi.

Siang ini, Ina selesai mengirim tugas kuliah melalui email setelah sepanjang pagi mengerjakannya. Sebentar lagi ada kuliah online. Ina ingat, bajunya masih teronggok di keranjang, kusut karena belum disetrika. Dengan cepat Ina meraih setrika, lalu mencolokkannya ke listrik. Ia menarik keranjang baju. Matanya tertarik pada kemeja dan celana Irham yang ia cuci. Ina membentangkan kemeja itu dan mulai menyetrika. Baru kali ini ia menggosok baju Irham. Sewaktu di ruko dulu, tugas itu dikerjakan Mak Nah.

Ada sensasi yang menggulung memenuhi dada saat ia membentangkan dan meraba kemeja itu. Ia seperti tengah menyentuh pemiliknya. Ina mengelus dengan lembut, melicinkannya dengan setrika, lalu melipatnya hingga rapi. Kemeja terlipat itu ia ciumi sambil terbayang saat ia ndusel-ndusel di pelukan Irham. Bukankah rasanya luar biasa, berada dalam dekapan Irham yang aman dan tenang?

Irham memang garing di kasur. Kadang kehabisan waktu untuk mencumbu dan tak jarang hanya wajah tidur kelelahan yang ia berikan di ranjang. Sekarang, Ina baru sadar bahwa sebagian besar energi lahir dan batin Irham digunakan untuk membangun rumah tangga yang stabil. Rumah yang layak, tabungan yang cukup untuk menjamin masa depan keluarga dan berjaga bila ada hal darurat menimpa mereka. Bukankah itu juga tanda cinta? Mengapa matanya tertutup, tidak melihat semua jerih payah dan tetesan keringat itu? Bukankah rasa aman dan tenang itu yang ia butuhkan dalam jangka panjang?

Ah, ia telah ceroboh, menukar kasih sayang jangka panjang Irham dengan kenikmatan sesaat. Betapa bodohnya! Ina menangis sesenggukan sambil memeluk kemeja Irham.

☆☆☆

Ina baru selesai menyetrika baju saat pintu kamarnya diketuk. Ia bergegas ke depan untuk membukanya. Saat tahu siapa yang datang, jantungnya seketika berdenyut keras. Pemilik kemeja yang belum lama ia tangisi sekarang berdiri di depan pintu.

"Mas Ir? Ada apa siang-siang ke sini?"

Irham menyerahkan bungkusan makanan. "Tolong dipanasi, aku mau mandi," ucap Irham, datar dan dingin seperti biasa. Pun masih menghindari beradu pandang. "Siapin ember air sabun."

Ina sejenak terbengong di ambang pintu, lalu segera masuk karena matanya mulai mengabur. Buliran bening turun berarak saat ia mengambil ember dan mengisinya dengan bubuk deterjen dan air. Setelah meletakkan ember itu di teras, ia cepat-cepat ke dapur untuk memanaskan rawon pemberian Irham. Air matanya tetap menetes bermenit-menit kemudian. Apakah ia boleh berharap lebih dari sekadar status tergantung?

Beberapa saat kemudian, Ina duduk di ruang tamu, menemani Irham makan. Seperti biasa, dalam kebisuan. Hingga selesai menghabiskan nasi rawon dan kopi, mereka tetap diam. Mulut Ina sampai gatal kepingin menyuarakan kalimat-kalimat.

"Baju Mas Ir yang semalem mau dibawa sekarang?" tanya Ina. "Udah aku cuci dan setrika."

"Nggak usah. Simpan aja di sini."

"Oh, iya."

Suasana kembali sunyi untuk beberapa saat.

"Kamu nggak ada kuliah?" tanya Irham tiba-tiba.

"Ada, sepuluh menit lagi."

"Ya udah sana. Aku mau cek kerjaan di sini."

Itu berarti Ina akan online ditunggui Irham. Hati Ina berbunga, tapi tetap tidak berani berharap. Ia masuk ke ruang tengah, lalu segera sibuk mengikuti kuliah melalui laptop. Satu jam kemudian, ia selesai. Ada kesempatan rehat sebentar sebelum sesi berikutnya dimulai. Ia pergi ke ruang tamu. Ternyata Irham tertidur di kursi dengan kepala menyandar dinding. Di meja, laptopnya terbuka dengan layar mati.

"Mas Ir," panggil Ina. "Mas!"

Irham terbangun. "Mm? Ah, aku ketiduran."

"Kalau capek, tidur aja di dalam, Mas."

Irham mengusap wajah. "Tadi malam ada barang datang. Aku nggak sempat tidur." Irham mematikan laptop, lalu mendongak memandang istrinya. "Kamu mau pergi?"

"Enggak. Barang jualanku udah habis. Bentar lagi ada kuliah kedua. Mas Ir tidur aja. Nanti mau dibangunin jam berapa?"

"Bangunin aku sejam lagi," ujar Irham. Setelah itu, ia berjalan menuju kasur. Tak perlu waktu lama, dengkuran halus keluar dari mulutnya.


////////////////////

Bersambung besok pagi

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang