---4. Hati Warna Merah---

5.2K 517 70
                                    


Irham nyaris terkena serangan jantung. Menghalalkan Ina? Perkataan Kartini seperti membuka bentangan masa depan yang sebelumnya hanya samar-samar, bahkan disingkirkan jauh-jauh dari angan Irham.

"Maksud Mama, Ina nikah sama aku, gitu?" tanya Irham dengan mulut mendadak kering.

"Kamu single, Ina single. Terus apa halangan kalian?"

Irham ternganga. Memang benar, di hatinya sebentuk harapan muncul dan mengembang. Namun, pernikahan tidak semudah itu. "Ina itu anak kecil, Mama!"

"Ah, yang kecil cuma badannya. Umur dua puluh itu udah wanita dewasa."

Irham terhenyak. Adik kecil itu memang telah tumbuh menjadi gadis yang mekar dengan segala pesona.

"Kurang apa dia, Ir? Cantik, ulet, udah jelas asal usulnya karena udah kamu kenal sejak kecil."

Bayangan wajah Ina segera mengambang dalam angan Irham. Ya, Ina cantik. Sangat cantik bahkan. Wajah oval, mata bulat, hidung mungil runcing, serta sepasang bibir yang menguncup kemerahan tidak membosankan untuk dipandang berlama-lama. Irham berusaha menyembunyikan senyum yang tersungging begitu saja. Ia sendiri tidak tahu mengapa senyum itu terbentuk.

"Jangan menipu hatimu, Ir. Mama tahu, kamu suka dia. Matamu tidak bisa bohong. Kalian udah runtang-runtung pulang-pergi Surabaya-Malang. Kalau nggak ada rasa, kamu bohong."

"Runtang-runtung gimana? Aku cuma kasih tumpangan aja. Sayang ongkosnya bisa ditabung."

"Kamu lebih sering pulang ke Malang setelah Ina kuliah di Surabaya. Sadar, nggak?"

Irham diam. Kebersamaan mereka dalam mobil hampir setiap bulan sudah menjadi semacam keharusan. Ia bahkan tidak sungkan memaksa Ina pulang hanya karena ingin bersama semobil. Gadis itu senang mengoceh. Suaranya riuh seperti sekawanan parkit. Tak jarang telinga Irham mendenging karena menampung semua celotehannya. Kendati begitu, keriuhan itulah yang membuat jarak tempuh Malang-Surabaya terasa pendek.

"Aku pulang buat jenguk Mama, katanya kesepian," kilah Irham, menahan malu.

"Ngeles! Udah bawa Adel aja matamu masih ke Ina. Gitu kok masih ingkar."

Wajah Irham memanas. Dirinya seperti ditelanjangi. Namun, segumpal rasa ragu menggelembung dengan cepat. "Ah! Tapi aneh, Ma. Umur kami selisih delapan belas tahun."

Kartini mengibas-ngibaskan tangan. "Nggak masalah itu. Yang penting cinta dan setia, rumah tangga kalian akan bahagia."

"Nggak semudah itu." Bukankah dirinya pernah gagal? Dwita dulu minta cerai karena tidak puas dengan pernikahan mereka. Tidak jelas apa yang memicu kekecewaan. Yang pasti, selama menikah delapan tahun, tak terhitung berapa kali mereka beradu mulut. Kadang persoalan kecil sanggup menyebabkan perang dunia. Lalu, saat anak tak kunjung hadir, Dwita semakin berulah. Dengan alasan tidak tahan ditekan mertua, ia lari ke pelukan lelaki lain. Harga diri Irham seperti dibuang ke tempat penampungan limbah.

"Dwita memang bakat melawan suami. Mama udah menduga sejak dulu. Adel juga, tapi dia baik sebenarnya, dan sudah pasti nggak mandul."

"Ma, kok ke situ lagi?"

"Loh, bener. Dwita udah punya anak sama suami barunya apa belum?"

Biarpun tahu mantan istri itu belum mempunyai anak, Irham malas menjawab. Apa urusan ibunya dengan Dwita saat ini?

"Justru kalau umur kalian beda jauh, Ina nggak akan melawan kamu," lanjut Kartini. "Dia akan tahu diri karena sejak dulu keluarganya kita bantu. Soal kekanakan, itu tugas kamu sebagai suami buat mengajari dia menjadi istri dan ibu rumah tangga yang baik."

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang