---46. Adakah Cinta? (2)---

1K 153 36
                                    

"Ina yang aku kenal dari kecil itu bukan seperti ini."

Ina merintih. Benar sekali. Beberapa bulan terakhir ini, ia sudah tidak mengenali diri sendiri. Mengapa ia begitu gila menuruti perkataan Anin dan Dika?

"Kamu dulu baik, lugu, nggak neko-neko. Kenapa jadi begini, In?" sesal Irham. (macam-macam)

"Maaf, Mas ... aku udah berdosa," ratap Ina.

"Aku kan udah bilang, teman itu dipilih dan dipilah. Nggak semua omongan teman itu bisa diikuti mentah-mentah. Kamu harus bisa menyaring mana yang berguna dan mana yang bikin tersesat kayak gini," lanjut Irham. Ia harus jeda sejenak untuk mengambil napas.

Istri kecil itu masih menunduk dengan tubuh gemetar dan bahu berguncang karena tangis. Irham sebenarnya kasihan. Mungkin bila Ina masih sebagai adik angkat, ia tidak akan sekecewa ini. Tapi Ina adalah istrinya. Rasa sakit yang ia rasakan berkali lipat lebih berat.

"Sekarang jujur dari mana kamu belajar semua hal cabul itu?" tuntut Irham.

Ina hanya menggeleng tanpa memberi jawaban.

"Kamu nggak usah nutup-nutupi. Dika udah kasih kamu buku cabul, kan? Terus siapa lagi? Anin? Dia yang ngajari kamu solo?" tuduh Irham.

Ina melengos sambil berurai air mata. Entah bagaimana Irham bisa tahu perbuatan tak senonohnya.

"In, jawab!"

Akhirnya Ina mengangguk. "Ma-maaf ...."

Wajah Irham menegang. "Begini akibat teman yang nggak bener! Kamu udah sadar belum?"

Ina mengangguk kecil. Irham tidak yakin anggukan itu benar-benar keluar dari hati.

"Kamu udah dicekoki narkoba sama mereka. Kurang bukti apa lagi? Teman-teman kamu itu udah menyesatkan kamu! Habis ini kamu masih mau temenan sama mereka? Cari teman lain! Masih banyak orang baik yang bisa diajak bergaul!"

Ina menggeleng lemah. Dulu, Anin tidak serusuh itu. Sejak mengenal Nicko gadis itu berubah.

Ia sedih membayangkan tidak akan bisa ketawa-ketiwi dengan Anin. Tapi mau bagaimana lagi? Irham benar. Lingkaran pergaulannya harus segera diganti.

"Apa sih yang kalian omongin kalau vidcall berjam-jam itu?" tanya Irham lagi.

Ina semakin nyaring menangis. Ia teringat bagaimana ia mengadukan masalah terpaksa menikah kepada teman-temannya.

"Kamu ngomongin aku di depan teman-temanmu?" cecar Irham.

Ina hanya terisak, tanpa sanggup menjawab. ia merasa sangat hina.

"Dika bilang kamu terpaksa nikah sama aku. Bener kamu terpaksa nikah buat membalas budi?" Kali ini, Irham bertanya dengan lirih. Ia sendiri nyaris tak sanggup menanyakan hal ini.

"Apa aku pernah maksa kamu, In? Aku minta kamu baik-baik. Aku kasih kamu waktu buat mikir. Aku udah bilang, biar kamu tolak pun, aku tetep bertanggung jawab sama hidupmu sampai kamu bisa mandiri. Kenapa kamu merasa terpaksa?"

Ina tergugu. Ia mungkin cuma bingung saat menjawab pertanyaan Dika dan Anin. Kini, saat pikirannya mulai jernih, ia mulai meragukan perkataannya sendiri.

"Apa kamu merasa terpaksa nikah sama aku?" Irham mengulang pertanyaannya.

Ina menggeleng beberapa kali.

"Jangan cuma menggeleng, In. Tolong jawab karena ini penting banget buat aku," desak Irham.

Ina merasa hancur. Ia memang gamang menjalani pernikahan ini. Tapi, bila harus jujur pada diri sendiri, ia tidak terpaksa. Ia memang mau bersama Irham.

"In?" pinta Irham lagi.

Ina menggeleng. "Enggak, Mas. Aku nggak terpaksa."

"Terus kenapa Dika bisa bilang kamu terpaksa?"

"Mungkin ... waktu ngomong itu aku bingung. Kita nikahnya dadakan. Aku ... aku merasa hidupku jungkir balik." Ina menggigit bibir, takut dengan reaksi Irham.

Irham mendesah panjang. Soal menikah mendadak itu memang kesalahannya. Ia yang setengah memaksa untuk menikah cepat-cepat demi menghalalkan Ina serumah dengannya. Ah, tahu begini, lebih baik ia indekoskan Ina sampai lulus, baru menikah. Selama itu, ia bisa pendekatan layaknya pasangan yang lain.

"In, aku mau tanya lagi, tolong kamu jawab dengan jujur. Kamu sebenarnya ada perasaan cinta nggak sih sama aku?"

Ina tersedu lagi. Cinta? Ina terbayang kebersamaan mereka saat berdua pulang ke Malang, pun perhatian Irham menelepon dan mengirim makanan saat ia dikarantina. Lelaki itu bahkan rela malam-malam berdiri menunggu di pagar rumah sakit hanya demi menemani dirinya yang tidak bisa tidur. Ina masih mengingat bagaimana hatinya tergetar karena peristiwa-peristiwa itu.

"In, lihat aku!" titah Irham.

Mau tak mau Ina mengangkat wajah, menatap sang suami. Ia baru menyadarinya sekarang. Sepasang mata itu membuatnya ingin berlindung dan mendapat kehangatan. Mungkin ini terakhir kali ia bisa melihat mata itu sebagai miliknya. Mungkin sebentar lagi ia akan diceraikan, lalu dibuang ke panti asuhan.

"In, jawab. Apa nggak ada secuil aja rasa cinta kamu ke aku?" tanya Irham.

"Aku sayang Mas Ir," jawab Ina sambil sesenggukan.

Mata Irham berbinar sejenak, lalu redup kembali. "Kamu sadar ngomong itu? Jangan-jangan karena takut sama aku, kamu terpaksa ngomong begitu?"

Ina menggeleng. "Enggak. Aku sadar, kok. Aku cinta Mas Ir."

Irham mendengkus. "Apa kamu ingat cinta aku waktu kamu tidur dengan Dika, In?"


//////////////////

Malang nian nasib Irham. Ya nggak sih?

 Ya nggak sih?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang