---54. Belum Sembuh (2)---

1.3K 184 77
                                    

Ina menarik selimut menutup tubuh yang tergolek terlentang dengan sebelah lengan terlipat di sisi kepala. Wajah yang terlelap itu masih menggetarkan kalbu, namun ada yang berubah. Badan Irham terlihat nyata menyusut. Ina nelangsa. Pasti lelaki itu menderita lahir dan batin karena ulahnya.

Satu jam berlalu. Kuliah kedua pun usai. Ina merayap ke kasur, lalu memanggil Irham. Setelah diguncang-guncang bahunya, barulah lelaki itu membuka mata.

"Udah sejam?" tanya Irham dengan mata merah.

"Udah, Mas."

Entah mengapa, Irham enggan bangkit. "Aku masih ngantuk," ujarnya. "Kalau kamu mau keluar, tinggal aja, nggak pa-pa." Sesudah itu ia membalikkan badan menghadap tembok, lalu terlelap lagi.

Irham baru terbangun saat hari telah gelap. Ia duduk di tepi ranjang sambil mencari keberadaan Ina. Istri kecil itu tengah duduk di meja belajar, mengerjakan sesuatu menggunakan laptop dengan posisi membelakangi. Bahu kecil yang sebagian tertutup rambut itu menarik perhatian. Tanpa berpikir, Irham bangkit mendekat. Saat diperhatikan, ternyata Ina tengah menulis rangkuman materi kuliah pada sebuah buku.

"Mata kuliah apa itu?" tanya Irham.

Ina tidak menyangka Irham sudah bangun dan berada di sisinya. Ia terjingkat saking kagetnya. Bolpoin yang ia pegang terjatuh di dekat kaki Irham. Matanya membulat dan mulutnya terbuka sedikit. Raut imut-imut itu menggoyahkan kekesalan Irham.

"Mas Ir ngagetin!" seru Ina. Ia membungkuk untuk mengambil bolpoin yang terjatuh. Di saat bersamaan, Irham juga melakukan hal yang sama. Kedua tangan yang terulur itu bersentuhan.

Irham lupa diri. Tangan Ina ditangkap dan digenggam. Harga diri yang terkoyak boleh berteriak mengutuk Ina, namun hatinya sepenuhnya merindukan kedekatan ini. Ibu jari Irham mengelus lembut tangan mungil itu. Pemiliknya sampai mematung di kursi karena tidak menyangka Irham masih sudi menyentuhnya.

Irham menunduk untuk memandangi jemari mungil Ina. Cincin kawin masih melingkar di jari manisnya. Ia geser sedikit ke arah luar. Ternyata ada belang keputihan di balik benda itu.

"Kamu pakai terus cincin ini?" tanyanya dengan lirih. Rasanya masih seperti mimpi kejadian sebulan lalu itu. Ia tetap belum sanggup memahami mengapa istri kecil yang ia sayang sejak lahir itu sedemikian tega padanya.

Ina mengangguk. Air matanya mulai menggenang. "I-iya."

Irham mengembuskan napas berat. Ia ingin memeluk Ina. Ingin membuatnya ndusel-ndusel di dada lagi. Namun setiap kali rasa rindu muncul, maka saat itu juga pengkhianatan Ina terbayang. Ia kembali kesal dan muak.

"Waktu kamu sama dia, apa kamu juga pakai cincin ini?" tanya Irham lagi.

Pertanyaan itu membuat Ina merasa hancur. Waktu kejadian nista itu, ia pergi diam-diam dan tergesa sehingga tidak ingat melepaskan cincin. Ia mengangguk sambil berurai air mata.

"Aku salah, aku dosa, Mas Ir," ratap Ina tertahan.

Mata Irham memerah. Ia melepaskan tangan Ina, lalu membalikkan badan sebelum Ina tahu ia meneteskan air mata. Irham buru-buru membereskan laptop, lalu pergi begitu saja. Ina yang ditinggalkan tanpa sepatah kata, menangis sejadi-jadinya.

☆---Bersambung---☆

Orang terluka batin itu emang susah sembuh ....

Apa kabar Pembaca, ada jugakah yang masih menyimpan luka lama?

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang