---41. Peringatan (1)---

1.1K 151 27
                                    

lrham berdiri dan bergegas hendak naik ke lantai 3. Ah, ia harus mandi dulu sebelum menapaki tangga menuju kediamannya. Sial benar Covid ini!

Wulan, staf keuangan, ikut berdiri dan menahan bosnya dengan isyarat tangan. "Mas, berkas-berkas laporan pajaknya belum ditandatangani," ucap Wulan, membuat langkah Irham terhenti. Wanita berpembawaan lembut itu tersenyum penuh pengertian. Irham pasti mengalami masalah lagi. Lebih sepuluh tahun menjadi pegawai di ruko ini, ia hafal perangai sang bos.

Irham menoleh. "Ah? Apa?"

Wulan menunjuk setumpuk kertas di sudut meja. "Itu, Mas. Laporan pajaknya tolong ditandatangani. Mau saya laporkan siang ini."

"Oh, iya," ucap Irham. "Nanti aja. Aku ada urusan sekarang ini."

"Kalau Mas Ir repot nggak pa-pa, besok masih sempat kok," ucap Wulan.

Irham bergerak menuju pintu.

"Oh ya, Mas," ucap Wulan lagi. 

Irham menghentikan langkah dan membalikkan badan. Gelagat Wulan membuat Irham berpikir ada masalah serius. "Hm? Ada apa lagi?" tanya Irham sembari kembali ke mejanya.

"Mas, saya tuh agak gimanaaa sama Mbak Adel. Dia sering telepon saya, ngajak keluar makan. Terus kirim-kirim kue buat anak saya. Dia pasti nanyain soal Mas Ir dan Mbak Ina."

Kening Irham berkerut. "Nanya apa?"

"Yaaa, nanya gimana Mas Ir sama Mbak Ina. Misalnya kenapa kemarin Mbak Ina nangis. Sebenarnya saya agak risih, Mas."

"Terus kamu jawab apa?"

"Yaaa, saya jawab nggak tahu. Saya bilang nangis bisa macam-macam artinya. Bisa aja nangis terharu atau nangis bahagia."

"Pinter kamu! Kalau dia tanya-tanya lagi, jangan dijawab!" perintah Irham.

"Pasti, Mas. Tapi Mas Ir kasih ketegasan, dong, buat Mbak Adel, biar nggak berharap terus."

Irham kontan mendelik. "Heh? Emang aku ngapain sama dia? Dia sendiri yang nyosor ke sini terus."

Wulan terkikik sambil menutup mulut dengan tangan. "Coba sekali-kali dimarahi, biar nggak nyosor."

Irham termangu sejenak. "Tapi dia bawa proyek gede, Wul. Mayan kan buat THR kamu."

Wulan langsung meringis. "Eh, iya."

"Kalau dia datang lagi, urus aja sama kamu. Aku nggak mau ketemu langsung. Ntar jadi perang dunia."

Wulan berkedip beberapa kali sambil menunjuk ke arah pintu. Irham ikut menoleh. Panjang umur Adel. Baru menjadi bahan pembicaraan, yang bersangkutan muncul di depan mata. Wanita itu terlihat kerepotan. Satu tote bag besar menggantung di bahu. Tangan kiri menenteng tas plastik yang cukup besar, sedangkan tangan kanan menggenggam tas laptop kecil.

"Iiiiiir," panggil Adel dengan suara mendayu.

Mendengar itu, Wulan tahu diri, segera pamit keluar. "Mas, saya kerja di bawah, ya."

Tanda bahaya berdering di kepala Irham. "Eh, ngapain ke bawah? Kerja di situ aja!" titahnya dengan dahi berkerut dan mata elang menyala.

Wulan langsung paham dirinya dijadikan tameng oleh bosnya. Bila demi kebaikan, ia sama sekali tidak keberatan. "I-iya, Mas."

"Ada apa, Del?" Irham bertahan di ambang pintu. Sengaja, agar Adel tidak masuk sehingga ia bisa mengajaknya turun ke toko di lantai satu. Ia tidak tahu Dika telah mengabarkan kedatangan Adel pada Ina. Istrinya itu saat ini tèngah mengintip di tangga.

Mata lebar Adel dapat menangkap bayang-bayang seseorang di tembok tangga. Hanya ada dua kemungkinan, Ina atau Mak Nah.

"Ir, kamu nggak lupa sama janji kita, kan?" Adel sengaja bersuara nyaring.

"Janji apa?" Irham mulai merasakan hawa kelicikan. "Sekarang kamu kok seneng ngarang? Mau jadi novelis?" sindirnya.

"Looh, katanya mau menu makan siang sehat. Nih, aku bawain." Adel mengangkat tas plastik yang ia tenteng ke hadapan Irham sambil menyunggingkan senyum manis.

"Aku udah makan. Makasih." Irham menoleh ke Wulan. "Wul, buat kamu aja!"

"Kamu cepet banget makannya. Ini baru jam berapa, sih? Susah-susah aku pesenin katering. Lagian, aku ke sini bukan buat ngerayu kamu," cicit Adel sambil merengut. Tangan yang satu lagi mengangkat tas laptop ke muka Irham. "Nih, laptop istri wakil bos. Minta upgrade OS dari Windows 8 ke Windows 10. Kamu kan nggak mau dibayar, ya udah, aku bawain makan siang."

"Iya, Mbak Adel. Makan aja sama Mas Ir." Sebuah suara tiba-tiba mengisi lorong di dekat tangga itu. Adel dan Irham kontan menoleh. Ina berjalan santai, mendekat ke arah mereka.

"Mas, temenin Mbak Adel makan, dong. Masa udah dibawain makanan malah dikasih orang?"cetus Ina.

Mata elang Ilham segera melibas istrinya dengan tatapan pedang. 

Hmmm, anak kecil ini ngajak perang! 

Ia tak kurang akal. "Ya udah. Kamu aja makan sama Adel, In. Aku mau kerja di bawah."

Ina mengangkat tangan dan dagu. "Ooo, aku sibuk, Mas. Aku mau keluar," jawabnya datar. Sesudah berkata begitu, ia melesat menuju tangga ke lantai satu.

"Heh! Mau ke mana kamu?" seru Irham. "Ina!" Ia ikut melesat, menyusul istrinya.

Adel cuma melongo melihat pasangan itu saling kejar. "Cih!" cibirnya. "Nikah sama anak kecil, kelakuannya ikutan kayak bocah." 

Rasain! Siapa suruh mutusin aku semena-mena!

Ia menoleh ke Wulan. "Wul, ayo temenin aku makan. Sama ini, laptopnya tolong dikasih ke Bimo atau Alfan, ya."

☆---Bersambung---☆

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang