---47. Mengapa? (1)---

1K 138 56
                                    


"Gimana aku bisa percaya kamu cinta aku? Kenyataannya kamu hohohihe dengan anak laknat itu," ucap Irham.

Hati Ina yang sudah remuk tersayat kembali. Bagaimana ia bisa menjelaskannya pada Irham? Ia baru sadar perasaannya pada lelaki itu setelah kena tamparan berat tadi. Ia baru sadar bahwa dirinya milik Irham setelah kepergok jatuh dalam lembah dosa.

"Udah berapa kali kalian melakukan itu?" tanya Irham lagi.

"Dua kali."

"Kapan yang pertama?"

"Waktu aku bilang ke Pasar Atom dulu, aku bohong sama Mas Ir. Aku nggak ke Pasar Atom, tapi ke rumah Mas Dika."

Mata Irham kontan menjadi nanar. Berarti saat kejadian itu ia berada di depan rumah sementara istrinya hohohihe di dalam sana dengan lelaki lain.

Kurang ajar!

"Terus kamu keenakan, gitu? Makanya kamu ulangi kedua kali!"

Ina menggeleng. "Enggak. Tadi itu ... tadi itu aku cuma mau ngobrol aja. Aku nggak tahu kalau Mas Dika masukin obat ke minuman. Tahu-tahu badanku panas dan kepingin ...." Ina tersedu lagi. Ia merasa benar-benar bodoh. Teganya Dika memberinya obat perangsang. "Maaf, Mas. Aku salah."

"Udah berapa kali kamu minta maaf? Apa gunanya kata maafmu sekarang? Semua udah kejadian. Cuma mau ngobrol? Aku harus percaya gitu aja?"

"Soalnya waktu itu Mas Ir ingkar. Katanya mau cuti dan nggak kerja. Ternyata kerja juga. Aku jadi kesel, lalu ...."

Mata Irham menyala. Jelas ia tidak terima. "Jadi itu salahku? Kamu yang berzina, aku yang salah, gitu?"

Mulut Ina terkatup. Irham memang tidak salah. Irham tidak pernah salah!

"Kamu bukan anak kecil lagi. Mulai sekarang, kamu harus paham kalau dunia orang dewasa itu isinya nggak cuma senang-senang, tapi banyak tanggung jawab. Aku nggak mungkin ninggalin orang yang sengaja datang bertamu ke sini. Mana dari jauh lagi. Begitu aja kok kamu nggak bisa ngerti, sih?"

Irham belum selesai mengomel. Setelah mengambil napas beberapa kali, ia kembali berucap, "Jangan cari-cari pembenaran buat kesalahan! Kalau kamu memang punya niat baik, kamu nggak akan pergi ke sana ketemu berduaan aja sama anak sialan itu."

Ina cuma bisa tersengal dalam tangis. Ya, tak ada yang bisa ia lakukan selain menerima semua kemarahan Irham.

"Apa sih yang bikin kamu sampai begini, In?" tanya Irham setelah beberapa saat kepalanya blank seperti komputer yang gagal booting.

Ina menggeleng. Untuk hal satu ini, ia tidak sanggup jujur. Irham akan semakin terluka.

"Apa karena dia lebih muda? Aku udah tua, udah bangkotan, nggak kelihatan wah di mata kamu?"

Ina menunduk. Bukan itu. Di matanya, Irham sama menariknya dengan Dika. Apalagi tahi lalat itu, bikin ia gemas.

"Dika lebih ganteng, badannya lebih macho dari aku?"

Sekali lagi, Ina menggeleng.

"Lha terus apa? Ngomong, In!"

Ina masih tidak sanggup mengeluarkan kata-kata. Ia merasa konyol sekali. Apa sebenarnya yang membuat dirinya tergiur oleh Dika dan dengan mudah melanggar bingkai-bingkai norma? Apakah benar hanya karena permainan Babang Toni dan Adik Keket? Suara kecil di sudut hati Ina yang gelap berteriak nyaring.

Memang itu masalahnya!

Kamu nggak puas.

Kamu penasaran terus-menerus.

Lalu kamu mendapat jalan untuk memuaskan rasa ingin tahu itu.

"In, please ... jawab!" geram Irham lirih. Suara Irham kali ini bukan suara seseorang yang tengah marah. Nada itu terasa pilu, seperti memelas, cetusan hati seorang lelaki yang tengah menahan luka yang sangat dalam.

"Mas Dika ... Mas Dika itu ...." Ina tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Sekarang napasnya telah tersengal-sengal karena sesal yang meluber bagai gelombang pasang.

"Dika kenapa, In? Kenapa?!"

"Maaf, Mas. Mas Ir nggak salah, kok. Aku yang salah, udah coba-coba cari permainan di luar."

"Aku nggak tanya itu! Aku tahu kamu salah, kamu selingkuh, kamu nusuk aku dari belakang. Aku kepingin tahu apa yang lebih dari Dika yang bikin kamu sampai rela nyerahin badan kamu ke dia!"

Ina menunduk. Kesenangan seks itu ternyata hanya sebentar. Beberapa menit dinikmati, lalu memudar dan mengabur. Ia mengejar apa bersama Dika? Hanya bayangan dan ilusi, imajinasi liar ciptaannya sendiri. Inilah dunianya yang nyata, hidup bersama seorang suami dan membangun rumah tangga.

"Mas Dika bikin aku merasa ... merasa tuntas, Mas Ir ...."

Tangis Ina jebol kembali. Kali ini ia tidak berani memandang wajah Irham. Ia cuma bisa menunduk sambil menutup wajah dengan kedua tangan. "Aku salah, Mas. Aku dosa sama Mas Ir."

Irham syok. Ia tidak berpikir Ina bisa merasa seperti itu. Ia tidak bisa berkata-kata lagi.

"Cuma karena masalah sepele begitu kamu mengkhianati aku, In?" tanyanya dengan geram yang tertahan. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu belum puas? Kenapa malah cari pelampiasan di luar?"

Ina merintih. "Aku takut dibilang ... punya otak syahwat."

Irham mendelik. "Cuma di depan aku kamu takut dibilang punya otak syahwat? Terus kelakuanmu main solo sambil lihat video cabul itu apa? Kelakuanmu jerit-jerit ah uh ah uh di kasur anak sialan itu APA?!"

Bila tadi Irham sempat merasa kasihan, sekarang rasa jijik pada istri kecil itu merebak dengan kuat. "Aku masih seger buger gini, masih sanggup cari nafkah, masih sanggup jadi kepala keluarga, kamu udah perlakukan aku seperti ini. Gimana kalau aku sakit, nggak bisa ngapa-ngapin? Atau udah jompo, ompong, encokan? Kamu akan jadikan aku apa, In? Kamu bakal telantarkan aku kayak sampah?"

Perih sekali hati Irham saat mengucapkannya.

☆---Bersambung---☆

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang