---22. Ilmu Neraka (2)---

2.5K 223 255
                                    

Readers, part ini dan part 24 harus dibaca dengan pikiran terbuka tapi kritis, ya. Jangan ditelan mentah-mentah. Sangat disarankan untuk lanjut sampai keseluruhan cerita tamat supaya tidak 'tersesat'.

❦❦❦

Mendengar komentar Ina, Anin tersenyum. Sorot matanya seperti memaklumi. "Ini cuma pendapat orang-orang. Kamu nggak perlu ikutin aku. Ntar aku diselepet Mas Ir lagi, dikira jerumusin kamu ke lembah hitam. Eaaaaaaaaa!" Anin mentertawakan diri sendiri. "Udah, yuk. Ngomongin yang lain aja."

Ina merasa tidak rela berhenti di saat pembahasan sedang panas-panasnya. "Nggak, nggak! Aku mau denger kok. Terusin aja. Jadi ada orang yang anggap seks itu cuma proses biologis aja, bukan sesuatu yang ... apa ya ... bingung deh cari istilahnya."

Anin kontan mengangguk. "Yup, bener. Seks itu proses biologis biasa, kayak makan, minum, lapar, kencing, beol, kentut. Jadi nggak ada kaitan sama dosa. Nggak sakral deh, tepatnya. Tapi jangan ngomong begini sama orang-orang yang rajin ibadah. Ntar kamu langsung dirukiyah!"

"Asyiap, Ibuk Profesor! Terus apa lagi yang hamba perlu tahu?"

Mata Anin melebar. Semangatnya meningkat berlipat-lipat. "In, pernah nggak kamu ngerasa gerah, kayak serba salah gitu? Ada yang ... gimana ya ... mendesak-desak dari bawah, yang bikin geregetan, tapi geregetannya aneh gitu?"

Ina kontan teringat malam-malam yang penuh kegalauan aneh. Ia mengangguk. "Iya, pernah!"

"Naaah, itu udah. Gejalanya emang gitu." Anin terdiam sejenak, seperti berpikir keras. "Mmm, waktu kamu dicium Mas Dika, gimana rasanya?"

Wajah Ina kontan memerah. Gemuruh dada kembali melanda. "Mmm, ya gitu, deh," jawabnya sambil menutup mulut dengan tangan untuk menahan malu.

Melihat itu, Anin langsung menuding. "Naaah tuuuh! Ya itu tuh! Pusing kan kamu habis itu? Nggak bisa tidur, kan? Kayak ada yang meronta-ronta gegara nggak puas, terus minta dipuasin saat itu juga?"

Ina menggaruk kepala yang tidak gatal. "Iya sih ...."

"Itu baru bibir, In. Ada banyak tempat di badan kita yang bikin enak."

"Hah? Kok kamu kayak ahli banget, sih? Belajar dari mana?"

Anin berkedip-kedip manja. "Kasih tahu nggak, ya?"

"Nggak usah kasih tahu kalau nggak ikhlas!" semprot Ina.

"Hehe, papi yang ajarin aku."

"Papi?"

"Papi Nicko."

"Si Papi tahu dari mana?"

"Nggak nanya. Kali aja dia udah keliling dunia hitam." Anin tergelak. "Mau aku bagi ilmunya?"

Seperti orang bodoh, Ina mengangguk keras. "Mau banget!"

"Yuk, ikuti aku. Mulai dari bibir ...."

"Stop, bentar! Ikuti gimana?"

"Ikuti gerakanku, nih. Tanganmu pegang yang aku sebutin!"

"Sekarang?"

"Besok, pas lebaran kuda!"

"Dih! Gitu aja ngambek."

"Cepetan, ikuti aku!"

"Bentar, aku taruh hape di meja." Tangan Ina bergerak mencari standar ponsel, lalu menegakkan benda itu di meja. "Nah, udah."

"Nah, sekarang duduk yang nyaman. Nah iya, gitu. Usahakan sesantai mungkin, ya, jangan tegang dan jangan kebanyakan mikir."

"Asyiap!"

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang