---34. Nanar---

2.2K 196 49
                                    


"Kenapa pergi ke rumah Anin?" Irham memulai interogasi begitu mereka duduk di mobil.

Ina bisa saja mencari-cari alasan, namun kali ini ia kehilangan tenaga untuk berpikir. "Enggak kenapa-napa, kangen aja."

"Kamu cerita apa aja sama Anin?"

"Nggak cerita apa-apa," jawab Ina datar.

"Masalah rumah tangga itu jangan sampai diumbar keluar. Nggak pantes," ujar Irham.

"Ah!" desah Ina.

Irham mengembuskan napas kasar mendengar jawaban singkat itu. Ina jelas-jelas marah padanya. Ia heran, seharusnya ia yang marah, mengapa malah istrinya yang mengambek? "Berapa kali sih aku bilang, kalau pergi-pergi itu ngomong dulu. Kamu nggak pakai masker pula. Kamu yakin isi rumah Anin itu aman? Kamu yakin temanmu itu nggak bawa virus?"

Irham bingung sendiri, mengapa malah mengomel soal protokol kesehatan. Benar, ia wajib menegur Ina soal itu, tapi sebenarnya ia ingin membahas hubungan mereka. Mungkin karena jauh di dasar hati ia tidak percaya diri membicarakan hubungan. Hanya dalam hal protokol kesehatan ia merasa di atas angin. Sementara itu, Ina hanya diam, menunduk sembari memainkan jemari di pangkuan. Kebisuan itu membuat Irham semakin kesal.

"In, kamu denger aku ngomong apa enggak? Protokol kesehatan jangan ditawar-tawar," tegur Irham lagi. "Kita udah kehilangan Om Arifin. Aku nggak mau ...." Irham tidak melanjutkan karena bahu Ina berguncang dan rintihan lirih keluar dari mulut mungilnya.

Perasaan Ina seperti diaduk-aduk. Terlalu banyak kejutan dalam satu sore. Sekarang Irham mengingatkan pada sang ayah yang belum lama pergi. Ia kesal sekali. Mengapa Irham malah membahas soal Covid? Ya, ia tahu itu penting. Mahapenting malah. Tapi apakah harus seperti ini caranya?

Karena tidak ditanggapi, Irham akhirnya menjalankan mobil. Ia cukup tersiksa mendengar isak tangis Ina yang memilukan sepanjang perjalanan ke rumah. Perbuatan Ina bermain solo telah menginjak harga diri sehingga ia lepas kendali dan memaksakan hubungan badan. Apakah Ina marah karena itu? Bukankah sudah kewajiban suami mendidik dan mengarahkan istri agar berada di jalan yang benar?

Ada hal lain yang mengganggu Irham. Berbagai keanehan sikap teman-teman Ina tadi membuahkan tanda tanya besar. Apakah Ina menyembunyikan sesuatu? Kepala Irham serasa penuh dan hendak meledak. Ia baru datang dari perjalanan jauh, lelah jiwa dan raga. Sampai di rumah malah menemukan masalah, padahal ia pulang lebih cepat demi menemani Ina menghabiskan akhir pekan.

"In, aku terlalu keras tadi?" tanyanya lirih.

Ina tidak menjawab, malah melengos ke jendela.

"Maksudku itu, jangan suka main-main dengan seks. Itu nggak bagus. Kamu belum pernah baca soal masturbasi? Orang yang suka main-main dengan khayalan sendiri itu otaknya melisut dan susah konsentrasi. Kalau hubungan dengan orang beneran, malah nggak selera. Aku nasehati kamu keras begini biar kamu nggak terjerumus ke dunia hitam. Paham?" nyinyir Irham.

Dada Ina sesak mendengarnya. Mungkin Irham benar. Ia telah terjerumus ke dunia hitam. Pertama, bermain solo. Kedua, melakukan kesalahan dengan Dika. Sekarang ia merasa sangat kotor. Ia tidak ingin melakukannya, namun entah mengapa selalu saja ada denyut di area bawah yang menuntut untuk dipuaskan.

"Dari siapa, sih, kamu belajar begituan? Teknologi itu dipakai buat kebaikan, jangan malah disalahgunakan," lanjut Irham, semakin membuat Ina merasa berdosa. "Kamu itu udah besar, bukan anak kecil yang harus dipantau dua puluh empat jam. Harus tahu sendiri, dong, mana yang baik dan mana yang nggak boleh dilakukan."

"Maaf ...," jawab Ina lirih di sela isakan.

"Sekarang kamu baru coba-coba. Kalau nggak diingatkan dari awal, lama-lama bisa kecanduan," lanjut Irham. "Mau jadi perempuan apa kamu nanti?"

Love You StillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang