(71) Tamu Mengejutkan

1.4K 128 33
                                    

Setelah dipikir-pikir untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk ke depannya. Diam-diam aku ingin membangun cabang kedai di kota kelahiranku.

Suka tidak suka. Aku harus terima.
Karena sebentar lagi aku juga harus kembali menemui keluargaku.
Sesakit-sakitnya Bunda menyiksaku, aku masih menerimanya.
Daripada aku harus hidup satu atap dengan seseorang yang ternyata menjadi penyebab kekacauan ini semua. Dia memang baik, merawatku dengan sepenuh hati, padahal aku bukan anaknya.

Aku telah salah, aku tanpa pikir panjang pergi meninggalkan rumah. Aku malah pergi menuju sumber luka lama kehidupan keluargaku.

Mencari tahu sebuah kebenaran yang sesungguhnya bukan perkara hal yang mudah. Saat ini, aku sedang melakukan perjalanan menuju kota kelahiranku. Kota dimana sebenarnya aku sangat membencinya. Aku ingin melakukan survei lapangan mengenai kondisi tanah yang ingin kubeli untuk membangun cabang kedaiku.

Pikiranku melayang-layang kemana-mana tatkala melintasi jalan perbatasan. Dimana ada sebuah jembatan yang dibawahnya mengalir air sangat deras.

Bodohnya aku yang pernah ingin mengakhiri hidup. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori pelipisku. Ingatan kejadian tenggelam ketika badanku tergulung arus memenuhi kepalaku.

"Kenapa, Mbak?" tanya pegawaiku keheranan.

"Enggak papa, kok. Cuma kepikiran tanahnya aja, Mbak."

"Beneran, Mbak? Keringat Mbak banyak, Mbak sakit?" Sekali lagi pegawaiku bertanya.

"Aku sehat, Mbak. Hehehehe..." aku membalasnya dengan cengiran.

Padahal dalam hati aku sangat gelisah. Teramat gelisah harus mengingat kejadian suram yang sudah kulupakan.

Aku melakukan semua ini semata-mata karena aku bersiap-siap akan kemungkinan buruk aku kembali terusir.

"Mbak, saya sudah lama banget enggak main ke kota ini," suara pegawaiku memecah rumitnya pemikiranku.

"Ada saudara ya, Mbak?"

"Saudara ipar saya, Mbak," katanya.

Usai mengobrol santai, tibalah kami berdua di sebuah lahan kosong yang letaknya di pusat kota. Aku sengaja memilih tempat yang strategis, supaya orang dengan lebih mudah mengetahui kedaiku. Kami berdua turun dan mencari seseorang yang merupakan pemilik lahan. Kami berbincang membahas tentang harga tanah, sampai riwayat lahan.

Drrttttttttt

Ponselku bergetar membuat fokus kami bertiga tertuju pada tasku.

Belum mencapai kesepakatan, aku memutuskan untuk mengakhiri pembicaraan, "maaf, saya angkat telepon dulu."

"Baik, Mbak. Silahkan.."

Aku mengangkat telepon sambil berjalan keluar ruangan.

"Halo, Mah," panggilku.

Mamah menyahutiku, "An, kamu dimana?"

Aku tidak boleh jujur, terpaksa aku harus mencari alasan lain mengenai posisiku sekarang.

"Lagi belanja buat keperluan kedai, Mah. Kenapa, Mah?" bohongku.

Kurasa Mamah percaya karena dia berkata, "Oh, Mamah kira kamu lagi enggak repot. Mamah cuma mau kasih tahu, kalau Mamah udah berhasil urus pelaku yang menabrak Lucas."

Fiyuhhhh.. untung saja Mamah percaya. Batinku bersyukur.

"Siapa pelakunya, Mah? Dia dimana sekarang?"

Mamah menjelaskannya dengan singkat, "pelakunya laki-laki dewasa An, dia menyetir dalam keadaan mabuk. Sekarang dia udah di tahan polisi, An."

Aku membalasnya, "selesai belanja, Ana pulang deh, Mah. Penasaran mau lihat siapa pelakunya."

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang