(5) Bunda Pov 2

8.2K 473 31
                                    

Bunda Pov 2

Tak terasa setelah 30 menit aku menyusuri jalan dengan kecepatan di atas rata-rata, akhirnya sampai dirumah juga. 

Baru saja sebelah kakiku menginjakkan pelataran rumah,  mataku menyipit melihat ada beberapa daun dan kotoran di depan pintu yang tertutup.

Pintu masih tertutup. Apakah bocah itu sudah pulang sekolah? Apa jangan-jangan bocah itu malah keluyuran ya? Arrrggghhhhhhh!
Langsung saja kupastikan untuk menemukan bocah sialan itu,  saat memegang gagang pintu seketika pintu terbuka, menandakan bahwa bocah itu sudah pulang.

Hmmmm,  liat saja kau! Apa dia tidak melihat kalau teras rumah itu kotor? Apa ia buta? Oh, jangan-jangan dia memang malas dan langsung ingin tidur! Asumsiku dalam hati yang menggebu,  merasa jengkel melihat keadaan rumah saat aku baru saja pulang kerja.  Apa dia tidak merasa risih jika rumah kotor? Hah?!?

Dengan emosi yang memuncak aku segera berjalan menuju ke kamarnya,  ingin melihat wajah yang sok tidak pernah melakukan dosa. Lagi-lagi pikiranku hanya tertuju padanya,  aku ingin sekali membentaknya, memarahinya habis-habisan!

Ketika aku sudah sampai depan kamarnya, baru saja aku melihat gagang pintu kamarnya emosi sudah memenuhi jiwaku. 

Brakkkkkkk
Ku banting pintu itu,  hingga terbuka dengan kencang. Aku tidak peduli! Aku tidak peduli jika ia harus mati karena sakit jantung! Hahahahahaha!  Aku bahagia kalau ia mati,  malah aku tidak punya beban hidup lagi! 

Mataku menyipit, darahku naik pitam melihatnya malah sibuk menggegam ponselnya!

Langsung saja kurampas ponselnya,  kumarahi dia habis-habisan, segala bentakan, cacian, hinaan, semua keluar dengan sendirinya dari lisanku yang mungil ini.  Entah mengapa jika melihat wajahnya,  rasa benci ini semakin besar, tidak pernah ada habisnya,  malah semakin bertambah benci! 

Tak menyangkal, bila wajahnya memang memiliki banyak kemiripan yang sangat jelas mirip dengan wajahku!  Cihhhh!  Tak sudi aku mewariskan kecantikanku padanya!  Anak yang tidak aku harapkan! Kenapa sih ia mirip denganku? Kenapa wajahnya tidak identik mirip dengan Mas Rahardian saja?!? Bukankah seharusnya wajah anak perempuan itu dominan mewarisi ayahnya?  Mengapa ia malah mirip denganku sih?!?  Dominan malah. 

Tak akan kusia-siakan kesempatan bagus ini,  selagi tidak ada Mas Rahardian aku bisa puas menghukumnya dengan segala cara yang kuinginkan membuatnya teramat tersiksa.  Hahahahahhaa. Rasakan ini anak sialan!  Anak biadab! 

Sebuah ide terlintas di kepala cantikku ini.
Aku akan membanting ponselnya di depan wajahnya sekarang,  agar ia bertambah kesepian,  karena ponsel memang satu-satunya benda kesayangannya, yang ia anggap teman setianya.  Aku heran, apa dia gila? Terkadang dia berbicara sendiri, menceritakan masalahnya dengan ponselnya. Bocah tidak waras!  Berbicara dengan benda mati.

Segera kurampas ponselnya, dan

Pranggggggggggg

Akhirnya, aku bisa merasakan tatapannya semakin menunduk ke lantai,  dan pundaknya sedikit bergetar,  aku tau ia akan menangis.  Tetapi,  ia sebisa mungkin menampik kalau ia lemah,  dan akan menangis.  Ia selalu berpura-pura sok kuat di depanku. 

Hahahhahaaa!  Rasakan itu bocah malang!  Sekarang lihatlah betapa buruk penampilanmu. Kasian,  teman setianya telah hancur lebur ku lempar dengan cuma-cuma. 

Sebaiknya, aku sudahi saja memarahinya,  rasanya penyakit darah tinggiku nanti tidak akan pernah ada habisnya bila terus-terusan melihat wajahnya. Lebih baik aku beristirahat saja, meregangkan badanku.  Aku segera meninggalkan bocah sialan itu dari kamarnya, terserahlah ia menangis, mengurung diri atau bunuh diri.  Biarkanlah, biar dia berbuat sesuka hatinya saja.  Toh,  aku juga senang melihatnya tersiksa.  Paling ia sekarang menangis, setelah badanku sudah keluar dari kamar tercintanya ini. 

Puasnya diriku telah memakinya,  seakan beban dihidupku berkurang dengan melampiaskan segala umpatan kepadanya.

Jangan harap ia setelah ini bisa bebas dari amarahku! Kau tidak boleh pergi,  kau harus tetap di sini,  agar aku bisa berbahagia apabila melihat wajahmu tersiksa. 

Dengan senang hati,  aku menunggu kapan kau memaksa diri untuk pergi dari sini. Aku tidak akan membiarkanmu pergi!

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang