(14)

4.7K 362 23
                                    

Secercah harapan menyeruak dalam batinku. Aku sudah sadar, sudah lebih baik dari sebelumnya. Pasti, sebentar lagi aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Paling lusa aku sudah bisa merasakan kasur empuk yang biasa kutiduri. Yeayyyy!

Semangat, tekad untuk cepat sembuh mendominasiku saat ini. Aku harus sehat!

Tapi, aku berpikir bagaimana cara aku menghubungi Renata ya? Aku bahkan belum mengabarinya kalau aku saat ini sedang berada di rumah sakit. Aihhh, mana mungkin bisa lah, ponsel saja aku tidak punya. Salahkan Bundaku untuk saat ini yang sengaja merusak ponselku kemarin. 

Ada ide brillian yang melintasi otakku. Ahaaa! 
Apa aku pinjam ponsel om dokter aja ya? Kan di sini aku cuma kenal dia ajaa. Boleh juga tuh! hihihihihi. Semoga saja boleh, kalau tidak bisa-bisa dalam absensi rapotku akan tertulis A, ya ampun aku tidak mau hal itu terjadi, bisa-bisa nanti akan berpengaruh dengan nilai sikapku, yang berujung akan kena amukan Bunda. 

Jariku mengetuk-ngetuk pelipisku, sembari memikirkan apa yang harus kulakukan nantinya. Terlalu fokus berpikir, sampai aku tidak menyadari bahwa pintu ruangan telah terbuka dengan sendirinya. Menampilkan sosok om dokter ganteng lagi! Panjang umurnya Om hihihihi ! Om dokter melangkah mendekatiku dengan senyum yang mengembang. Eitsss. Om dokter bawa apa tuh di tangannya? Semacam paperbag? Buat siapa ya? 

"Hai om! Aku udah sembuh loh! besok aku  boleh pulang kan??" Kataku dengan penuh percaya diri.

"Sayang, kamu besok belum boleh pulang. Kamu harus menginap 2 hari lagi ya di sini, biar Om bisa memastikan kamu dalam keadaan sembuh total. Emangnya kenapa ? Ga suka sama makanannya? Apa ruangannya kurang bersih?? Sampe-sampe kamu ga betah di sini? Katakan pada om, nanti om pindah kamu ke ruangan yang lebih bagus lagi. Apa yang membuatmu tidak nyaman sayang? Ayo katakan?" 

Rentetan pertanyaan yang om dokter lontarkan membuatku terkekeh. 

"Astaga om kok lama banget sih, Plis ya besok pulang om. Aku betah kok di sini, sangat betah malah. Makanannya enak, ruangannya bersih banget. Engga usah om, aku udah merasa sangat cukup, kok aku ngerasa ini ruangan VIP ya om ? Aku takut om, ruangan sebesar ini tapi aku sendirian. Aku butuh teman om, oh iya om aku boleh engga pinjam hp om? Aku ingin menghubungi Renata sahabatku om. Boleh ya?" 

Raut wajahnya sedikit berubah, menjadi penasaran. Salah satu alisnya terangkat, jangan lupakan keningnya yang mulai berkerut. Tetapi hanyalah sekilas. Dapat kurasakan aura wajahnya kembali seperti semula. Normal kembali. Syukurlah, aku takut bila ia mengetahui apa yang sebenarnya menimpaku. Apa tanggapannya bila ia tahu sahabatnya tidak peduli denganku. Seorang ayah yang acuh terhadap puterinya? 

Tanpa meminta ijin, ia duduk di kasurku, mau apa dia ? Dapat kurasakan ia semakin mendekat ke arahku. 

Aku mematung. Lidahku kelu. Padahal aku ingin menanyakan, mau apa ia sebenarnya?

Dapat kurasakan hembusan nafas di area pundakku. HAH? Om dokter memelukku! Gotcha! Usapan lembut tangannya menggelitik punggungku, rasanya nyaman sekali. Kedua tanganku tak tinggal diam, ikut membalas pelukannya. Ingin kuucapkan kata-kata untuknya, tapi sial! Lidahku tidak bisa diajak kompromi, sulit sekali untuk berbicara! Jantungku berdebar dengan kencang, andai saja bisa kutahan debaran ini, pasti aku tidak akan takut kalau ia akan menyadari respon tubuhku yang selalu berdebar di dekatnya. Kuhirup dalam-dalam aroma khas tubuhnya, wangi mint yang memabukkan. Membuat siapapun yang beruntung menciumnya dari dekat pasti akan merasa ketenangan. Rileks Reina! Tahan, jangan sampai aku berulah yang aneh-aneh. 

Yang paling ditunggu-tunggu adalah siapakah yang akan membuka suara terlebih dahulu? Aura kecanggunganlah yang mendominasi. Tidak ada yang membuka suara satupun. 

Biarlah seperti ini dulu Om, aku suka. Karena hanya Om yang bisa memberiku kekuatan di tengah kekalutan yang setiap hari mengisi ruang hatiku. Batinku bergeming. Lupakan fakta kalau aku hanyalah pasien yang sewajarnya ia obati! Aku suka dengan posisi ini, posisi yang sangat kudambakan. Bayang-bayang Yanda yang sedang memelukku terkadang muncul dalam lamunanku. Sudahlah, lupakan saja kedua orang tuaku, lihatlah apakah mereka datang? Batang hidungnya saja tidak bisa kulihat saat aku sadar tadi. Aku bahkan bermimpi mereka hadir di ruangan ini, menggenggam tanganku sambil merapalkan doa untuk kesembuhanku. Cih! Realita menamparku saat ini! Saat aku terbangun, tidak ada siapapun yang menggenggam tanganku. 

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang