(93) Pengunduran Rencana

1.8K 99 17
                                    

Berbagai peristiwa menimpa keluargaku, menjuntai bak rentetan kisah yang terus berlanjut. Entah, sampai kapan akan berakhir normal. Apakah ini karma? Kemungkinan besar bisa dikatakan sebagai pembalasan.

Aku sudah memaafkan semuanya, dan berusaha berdamai dengan takdir. Tidak mudah bagiku untuk bisa menerima kenyataan yang begitu menampar. Terapi penyembuhan luka batin pada dasarnya berasal dari diri sendiri.

Lukaku bisa sembuh oleh Mamah dan Kak Lucas, tetapi begitu mudahnya mereka menghancurkan perasaanku kembali. Hanya Mas Axel yang bisa menyembuhkan rasa sakit yang selama ini kudapati. Hanya Mas Axel.

Rencana pernikahan yang seharusnya diadakan selepas Bunda pulih, berujung diundur lagi. Sebab, tidak mungkin diadakan dalam keadaan Yanda yang jatuh sakit. Aku masih tidak mengetahui penyebab Yanda tidak bisa menggerakkan badannya.

"Dari hasil pemeriksaan, Yandamu itu mengalami kelemahan otot akibat tekanan pekerjaan yang terlalu berat. Tapi, Mas juga belum bisa menemukan penyebab pastinya. Yandamu sendiri juga tidak mau memberi tahu," Mas Axel menjelaskan masalah Yanda.

Aku pun juga menjawab, "yah.. aku juga nggak Mas. Bisa kembali pulih, kan?"

"Semua bisa kembali pulih, sayang. Bantuan tenaga medis juga sudah Mas berikan, tetap saja yang terpenting semangat dari Yandamu. Kalau pengobatan sudah maksimal, tidak disertai dengan keinginan ingin sembuh ya sama saja," desis Mas Axel.

"Tau deh, Mas. Kayaknya Yanda juga frustasi berat?" bingungku sendiri.

Mas Axel mendekatkan dirinya denganku. Mas Axel mengusap punggungku dengan lembut. Aku menjadi sedikit lebih tenang.

"Tidak apa-apa, kita hadapi bersama. Kita lihat perkembangan Yandamu satu bulan ke depan, ya?"

"Iya, Mas. Kita terus pantau perkembangannya. Maaf ya, keluargaku selalu merepotkan," ucapku menundukkan kepala karena sudah malu dengan Mas Axel.

Mas Axel mengambil tanganku, dan menciumnya, "apanya yang merepotkan? Mas malah senang bisa membantu kamu."

Terlampau sudah malu karena terlalu sering merepotkan Mas Axel, aku menggigit bibirku. Tuhan baik sekali kepadaku, mengirimkan orang sebaik Mas Axel. Ya, hanya dia satu-satunya yang tulus.

Kami sedang makan bersama di restaurant dekat rumah sakit. Mas Axel masih memakai kemeja kerjanya. Kami duduk di sudut ruangan dengan meja yang berisikan lima buah kursi. Dua kursi sudah kami duduki, sementara tiga lagi masih kosong.

Kenapa memilih duduk yang ada lima kursinya? Sementara kami hanya berdua?

Sambil menyantap nasi goreng kesukaanku, aku memandangi Mas Axel yang sibuk dengan ponselnya. Mas Axel semacam sedang menunggu janji dengan orang lain.

"Nunggu siapa emang, Mas?" tanyaku.

"Pokoknya nanti kamu senang, kok," jawabnya santai.

Siapa yang akan datang?

Aku bertanya lagi, "emang siapa?"

Mas Axel bersuara, "tunggu aja, sayang."

Selepas bertanya dan tidak mendapat jawaban, kami melanjutkan makan dengan tenang. Hanya ditemani suara denting sendok dan garpu yang berbenturan dengan piring, juga suara cekikikan dari pengunjung lain.

Mas Axel mendaratkan tangannya di sudut bibirku, "heum.. selalu saja kalau makan nasinya ketinggalan."

Aku menyengir, "hehehehe.."

Mas Axel mengambil nasi yang menempel di sudut bibirku dengan tisu. Lalu, aku menyilangkan sendok dan garpu tanda sudah kenyang dan selesai makan. Lantas, aku mengambil jus jambu yang ada di samping piring.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang