(12)

4.6K 319 20
                                    

Duka lara menyelimuti kediaman keluarga Rahardian.  Suasana hening digantikan dengan lantunan ayat-ayat  yang mengisi keheningan.  Semua insan yang datang mengenakan seragam hitam, dengan raut wajah sedih.  Menambah larutan kesedihan yang tercipta. 

Di pojok ruangan,  berdirilah sepasang ibu dan anak perempuan seusiaku.  Yang aku yakini itu adalah Agnes.  Agnes anak mendiang Paman Rahardian. Wajah cantiknya tersembunyi di balik pundak seorang wanita dewasa yang memberikan ruang untuk menumpahkan kesedihannya.  Wanita dewasa itu Bundaku.  Tangan Bunda tak henti-hentinya mengelus punggung dan surai lembut sang anak yang baru saja kehilangan pahlawan yang dicintainya. Punggungnya bergetar hebat,  disertai isakan yang terdengar hingga telingaku.  Aku tau,  akupun juga ikut larut mendalami,  merasakan bagaimana sesaknya bila tiba-tiba dihadapkan peristiwa yang mengejutkan,  merebut orang yang paling berharga di dunia ini. Tadi,  aku mengira yang telah tiada adalah Yandaku,  ternyata aku salah sangka. 

Ya Tuhan,  aku dapat merasakan bagaimana perhatian yang dicurahkan untuk Agnes,  dari dulu Bundaku selalu sayang dan berperilaku seperti ibu kandung Agnes.  Bila ada waktu luang,  Bunda sering mengunjungi Agnes dan tidak melupakan beberapa hadiah spesial untuknya.  Aku yang dulu masih kecil melihatnya,  sangat merasa iri.  Bagaimana tidak? Aku saja yang puterinya,  anak kandungnya tidak pernah diberi apa-apa,  aku tidak menuntut apapun,  aku hanya ingin merasakan kasih sayang Bunda.  Terlebih kehangatan dekapan Bunda.  Aku ingin mendengar detak jantung Bunda berdebar untukku. 

Aku bahkan melihatnya Agnes seperti anak kandung Bundaku.

Ah sudahlah,  lupakan sejenak pemikiran burukku itu.  Sekarang aku tersadar,  aku masih bersyukur bisa melihat kedua orang tuaku segar bugar.

Isteri mendiang Paman Rahardian tampak diam,  mematung,  pandangannya kosong. Padahal aku tau, sorot matanya tak pernah beralih menatap seseorang yang telah tidak bernyawa di balik peti cokelat di depannya.  Hatiku terenyuh,  dengan melihat keadaannya tak bertenaga seakan ia telah kehilangan segalanya,  separuh hidupnya telah pergi meninggalkannya. 

Aku berjalan mendekatinya,  tak sengaja tanganku bersentuhan dengan lengannya.  Dingin.  Sangat dingin.  Aku kikuk.  Tidak tahu harus berkata apa,  bertindak bagaimana.  Jadi,  kuputuskan untuk kembali ke posisiku semula menuju kerumuman ibu-ibu pelayat lainnya.  Aku duduk di samping ibu-ibu,  dan ikut melantunkan ayat-ayat suci dengan khusuk.  Banyak tamu yang berdatangan,  tetapi tidak ada yang berani mendekati dan mengajak bicara wanita yang ada di dekat peti jenazah.  Aku terus melantunkan ayat suci hingga terdengar seseorang berkata bahwa setelah ini akan diadakan Shalat Jenazah terlebih dahulu di masjid dekat rumah. Aku langsung berdiri,  merapikan kain kerudung yang berada di atas rambutku,  dan bergegas minggir,  menepi agar tidak menganggu.

Pandanganku lantas beralih menatap Agnes,  yang tambah sesunggukan. Sungguh, aku merasa iba terhadapnya.  Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa mendoakan kepergian ayahnya.  Bundaku semakin mengeratkan pelukannya,  dan menepuk-nepuk punggungnya,  memberinya semangat dengan bisikan-bisikan kata yang aku tidak bisa mendengarnya. Bundaku mencoba membawa Agnes ke dalam kamarnya saja.

Dan benar saja,  belum banyak langkah kaki Bunda,  tiba-tiba Agnes limbung,  dan luruh dalam pelukan Bundaku.

"Agnes!!!!" Teriak Bunda.

Aku bisa melihat raut kekhawatiran Bundaku yang mendalam saat menatap Agnes. Semua orang yang ada di dalam ruanganpun tak kalah terkejutnya denganku,  mereka langsung membopong Agnes ke dalam kamarnya.  Kakiku bergerak mengikuti langkah orang-orang berada. 

Apa aku salah lihat?  Bundaku menitikkan air mata?  Bunda menangis?  Baru kali ini aku melihat hati Bunda yang biasanya sangat keras seperti batu terhadapku,  saat ini terlihat seperti sakit. Tatapannya kepada Agnes seperti tatapan ibu kandung yang takut kehilangan, terjadi apa-apa dengan anaknya.  Aku sakit,  aku terjatuh Bundapun tak pernah terlihat khawatir sedikitpun....

Bolehkah saat ini aku berpikiran jauh menyikapi sikap Bunda? Apakah aku dosa? Aku iri melihatnya, hati kecilku tercubit melihat pemandangan tangis Bunda untuk anak orang lain, yang bukan anak kandungnya. 

Apa aku salah?

Ada sisi lain yang bisa kucerna,  mungkin saja Bunda juga menumpahkan tangisnya karena ia ikut larut dalam kesedihan Agnes,  dan merasakan bagaimana ia bila ada di posisi Agnes. 

Entahlah,  hanya Bunda yang tahu.  Aku hanya anak yang tidak pernah dianggapnya, cukup diam dan memandangnya tanpa bisa berkata apa-apa.  Yang terpenting kedua orangtuaku masih sehat. 

Suhu tubuhku mulai memanas,  menjalari sekujur tubuhku.  Aku demam lagi.  Aku lupa, kalau aku melupakan waktu makan siangku.  Tadi pagi aku hanya makan bekal milik sahabatku,  Renata.  Aku merasakan mual,  tanganku membekap mulutku.  Perutku sakit.  Aku harus cepat-cepat pulang ke rumah.  Bisa-bisa nanti aku malah membuat kacau di sini. 

Aku berlari menuju rumahku,  untung saja sedikit langkah sudah sampai. Langsung saja aku masuk,  dan berlari ke kamarku.  Banyak tatapan aneh dari orang-orang yang berada di rumah terhadapku.  Aku tidak peduli,  yang terpenting adalah aku harus segera sampai ke kamarku. 

Kubuka knop pintu dengan kasar,  menuju kamar mandi. Tanganku yang tadinya membekap mulutku, langsung kuarahkan untuk memijat leherku. 

Hoek hoek hoek

Rasa mual melandaku.  Tidak dapat kutahan. 

Hoek hoek hoek

Tak berhenti sampai detik ini juga, perutku terasa terlilit.  Sakit sekali,  ada gejolak ingin mengeluarkan sesuatu dari dalam tubuh.  Tetapi,  tidak bisa kukeluarkan. 

Kubasuh wajahku dengan air,  dan kupandangi wajahku dari pantulan kaca.  Pucat. Bibirku sangat pucat.  Badanku lemas. 

Dengan langkah perlahan,  aku bergerak menuju kasurku. Aku harus mengistirahatkan badanku saat ini, karena kesehatanku tidak mendukung aktivitasku hari ini.  Mataku terpejam sejenak,  untuk menetralisir perutku yang sakit.  Lama-kelamaan perih yang kurasakan. Aku tidak kuat untuk membuka mata, padahal aku ingin turun, mengambil beberapa makanan dari kulkas untuk mengganjal perutku. 

Tanganku baru saja ingin mengambil gelas di atas nakasku,  tiba-tiba gelas terjatuh

Prangggggggggggg

Disertai, aku yang tak sadarkan diri. 
Pandangan gelap menyeruak, menyitaku masuk ke alam bawah sadarku.  Kegelapan kembali yang  menghampiriku.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang