(3)

9.5K 586 42
                                    

Aku teringat dengan salah satu tugasku yang belum sempat terselesaikan tadi. 

Alhamdulillah, sekarang sudah tenang,  pekerjaan telah selesai,  aku bisa mengerjakan tugasku.

Tanganku bergerak mencari buku tugasku di dalam tas.
Nahh,  sip.  Akhirnya ketemu juga.
Kubuka buku tugasku,  dan kulanjutkan bagian terakhir.  Butuh waktu sekitar 15 menit untuk menggarapnya hingga tuntas.

Drrttttt.. Drrrrttrrrrrrtttttt

Hpku bergetar, lampu hijau pojok hp menyala menandakan ada notifikasi chat masuk.  Aku menggeser layar hpku, dan ternyata itu grup kelasku dan beberapa chat dari teman sekelasku.

Kuintip apa isi pesannya dengan menggeser bagian atas hpku, agar aku bisa mengetahui apa yang mereka inginkan dariku tanpa harus membuka pesannya satu per satu.

"Reii,  woyy bagi dong sinii pap tugasnya. Pelit banget lo dasar!"
"Heh anak emas!  Gue liat dong tugas lo!  Sini gue mau nyontek! Cepetan kirimin! Awas lo!!!!!!!!"
"Lo kenapa sih ga pernah share kerjaan lo ke grup?!?  Hah?!?  Dengan lo kasih tau jawaban lo ke grup emang ada ruginya hah?!?  Kan lo tetep anak emas kan?!?"
"woyyy!  Anjir lo, gak mau tau gue pokoknya ntar gue tunggu pap tugas lo ya!  Kalau engga gue jauhin lo! Inget tuh!"

Berbagai cercaan,  makian,  hujatan seperti tadi sudah biasa menghinggapiku.  Yahh.. Kalian tau,  aku memang tergolong anak rajin dan berprestasi di sekolah.  Bukannya aku pelit,  tetapi aku selalu menjunjung tinggi apa itu arti kejujuran,  berpegang teguh pada pendirian,  berusaha sendiri tanpa mengandalkan orang lain.  Bayangkan saja,  tugas sehari-hari mereka pasti mengandalkanku,  bagaimana besok kalau ia sudah bekerja? Memangnya iya bisa melempar tanggungjawab kepada orang lain?  Tidak, bukan?

Aku tidak peduli,  sekalipun ia mengecapku "anak emas,  anak sok pintar,  pelit,  tidak asik,  sombong", aku memang benar-benar hanya ingin menjunjung tinggi apa itu arti kejujuran.  Apakah mereka tidak pernah diajarkan apa itu arti kejujuran?

Ah sudahlah,  biarkanlah mereka membully,  toh hidupku untuk hidupku,  aku tidak meminta bantuan mereka,  tetapi mereka yang selalu bergantung padaku,  jika aku tidak memberikan sesuatu yang mereka mau,  pasti mereka langsung menyerangku, menghinaku di kelas.  Tak segan-segan mereka juga menjelek-jelekkan diriku terhadap anak kelas lain.  Cihhhh..
Cihhhhhhh
Sebenarnya disini siapa yang sangat membutuhkan? Bukannya mereka?  Tetapi mereka berlagak seperti korban atas kejahatan yang telah aku lakukan. 

Dunia sungguh terbalik,  orang yang salah malah lebih galak daripada korbannya.  Pelaku malah menyudutkan korbannya,  tanpa memperdulikan bagaimana sakitnya korban. Bukannya kalau seseorang butuh bantuan orang lain,  harus sabar bukan?

Cckckckckckckc..  Sudahlah,  aku tak mau ambil pusing lagi.  Lebih baik kunonaktifkan saja ponselku, daripada harus menerima ribuan hujatan lagi dari mereka. 

Lebih baik sekarang aku fokus,  dan berjaga apabila nanti bunda memanggilku / menyuruhku,  bisa-bisa nanti aku dimarahi lagi.

Baru saja aku ingin meletakkan ponselku di atas nakas.

Brakkkkkkkkkkkkkkkkkk

Pintu kamarku terbuka dengan paksa. Rasanya jantungku seperti dipompa, seperti memacu adrenalinku. Aku semakin gugup dan takut apabila mendengar suara gebrakan yang ditimbulkan apabila sebuah pintu dibuka dengan paksa.

Dengan cepat aku berdiri dan pandanganku tertuju pada bundaku. Ada apa ini?  Bukankah rumah sudah bersih? Apa ada yang kurang?  Atau bunda ingin mengajakku makan yahhh??  Wahh senang sekaliii. 
Aisss, enyahkanlah pikiran bahwa bunda ingin mengajakku makan. 

"Reina!  Sini kamu! Bawa ponsel kamu kemari!" Perintahnya dengan nada suara yang tinggi,  membuat nyaliku seketika ciut.

" Iya Bun" jawabku dengan suara yang lemah.

"Apa-apaan kamu ini hah?!?  Bukannya membersihkan rumah, tapi malah sibuk bermain hp!  Inget ya!  Saya mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk membeli ponsel kamu!  Jadi kamu jangan kurang ajar!  Anak kok ga tau diuntung, dibelikan ponsel bagus malah dibuat mainan bukan untuk belajar!  Malah buat chattingan ga jelas!" Sarkasnya dengan mata mendelik menatapku, tak lupa jarinya menudingku.  

Jangan lupakan bagaimana tatapannya saat melihatku, yang terpancar hanyalah tatapan penuh kebencian yang mendalam. Kebencian yang menghunus relungku.  Sakit sekali.  Ya Tuhan, apa salahku?  Mengapa Bunda membenciku setengah mati? Aku harus tegar,  tak akan kubiarkan air yang sudah menggenang di pelupuk mataku mengalir, aku harus kuat!

"Maaf Bun,  aku sama sekali engga chattingan atau bermain ponsel. Aku tadi hanya mengecek notif grup kelasku Bun, aku tidak berbohong. " Belaku dengan tatapan menunduk.

Aku bersiap untuk menerima pukulan dari Bundaku,  aku telah melihat tangan kanannya sudah melayang di udara dan semakin mendekat ke arah pipiku. Benar saja!

Plakkkk plakkkk plakkkkk!
Tangan Bunda sudah berulang kali mendarat di pipiku. Terhitung sudah 3kali tangan Bunda menyentuh pipiku dengan amat keras dan kencang. 

Hahahaa..  Aku tidak bisa berpikir lagi,  rasanya panas bercampur perih. Tetapi,  rasa sakit itu segera sirna karena aku sudah biasa mendapatkan perlakuan keji seperti ini, dari orang yang telah melahirkanku. 

Setelah puas menamparku,  kukira ia akan langsung meninggalkanku,  ternyata dugaanku salah.

Netraku menangkan gerak-gerik tangannya ingin melakukan sesuatu lagi. Aku tidak peduli,  sekalipun ia ingin membunuhku,  aku pasrah,  dan aku senang hati menerimanya.  Aku lelah Ya Tuhan. 

Tiba-tiba di depan wajahku bunda melempar ponsel ke sampingku,  ke arah dinding kamarku. 

Dan...

Pranggggggggggggg

Sangat mengenaskan, nasib ponselku. Ponsel , satu-satunya teman yang setia menemaniku, akhirnya harus lenyap. Semuanya hancur lebur,  tidak ada yang tersisa. 

Rasanya aku tidak tau lagi harus berkata apalagi menanggapi segala perlakuannya.  Aku hanya diam mematung dan menyaksikan perlakuannya.  Sudahkah cukup ia membanting ponselku?
Apalagi yang akan ia lakukan?  Melemparku dari atas balkon lantai dua?!?  Hahhhh?!?

"Dengar!  Enak kan! Sekarang kamu ga punya teman lagi! Apa sih gunanha ponsel?  Kamu itu anak kecil!  Bukan orang dewasa yang butuh ponsel, camkan itu anak kecil! Aku tidak sudi mengeluarkan sedikit uangku untuk membelikan ponsel / barang apapun untukmu.  Cari saja uang sendiri sana!  Ingat itu! Simpan dalam otak udangmu! "

Otak udang...  Apakah sekecil itu otakku? Harga diriku? Aku yang disamakan dengan udang? Rasanya aku ingin meledak mendengar hinaan yang sangat menyayat hatiku.  Tapi aku bisa apa?

Aku diam saja, Bunda masih memperlakukanku lebih dari musuhnya sendiri.  Lantas,  bila aku memberontak ia akan berlaku yang lebih nekat lagi kan? Bukan hanya menghancurkan ponselku,  bahkan ia bisa meredupkan cahaya masa depanku. Sungguh,  aku tidak bisa mendeskripsikan rasa sakit ini.  Rasa sakit yang kuterima atas penghinaan Bundaku sendiri. 

Apa benar ia bundaku?  Otakku terus menerus berpikir keras tentang hal itu. 

Tapi mengapa wajahku juga memiliki kesamaan dengan Bundaku ?

Apakah Bunda tidak pernah sedetikpun memikirkan bagaimana keadaan psikologisku?

Sayangnya semua itu hanyalah mimpi.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang