(11)

4.7K 323 7
                                    

Kring Kring Kring

Bel berbunyi nyaring,  menandakan bahwa waktunya untuk pulang ke rumah masing-masing. 

Aku menyibak selimut yang menyelimuti setengah badanku, dan melipatnya dengan rapi kembali.  Berbeda dengan Renata,  ia terburu-buru memakai sepatunya dan mengambil tasnya.  Selimut Renata masih terbentang berantakan di sisi kasurnya, mataku tidak betah melihat sesuatu yang berantakan,  tidak rapi,  dengan cekatan tanganku merapikan selimut tersebut mengembalikan ke tempat semula selimut tersebut berada.  Aku memperhatikan sejenak,  apakah ruangan uks yang aku tempati ini sudah rapi atau belum, jika belum aku harus membereskannya hingga tuntas,  bertanggung jawab karena telah menggunakan ruangan ini untukku beristirahat.  Oke.  Sudah beres. 

Kupasangkan kedua sepatu di kakiku. Setelah selesai memakai sepatu,  aku berjalan dengan tenang ke luar gerbang sekolah.  Aku harus pulang,  karena kondisiku saat ini tidak memungkinkan kalau aku berlama-lama di sekolah untuk melakukan kegiatan apapun. 

Selayaknya orang berpenyakitan,  tanganku meraba tubuhku, merasakan betapa kurusnya diriku. Seperti tidak ada lemak yang menempel ditubuhku yang kurus ini.  Cekungan hitam yang melingkar dengan tegas sangat menambah kesan, aku semacam anak yang tidak diperhatikan oleh kedua orangtuanya.  Sengaja aku menyembunyikan keadaan fisikku dengan melekatkan jaket, supaya tidak ada orang yang akan menatapku dengan pandangan aneh dan cibiran. Aku malas untuk mendengarkannya.

Matahari seakan berada tepat di atas kepalaku,  cuaca siang ini sangatlah panas, ditambah suasana hatiku yang sedang tidak baik-baik saja membuat segala sesuatu yang kurasakan tidak ada enaknya sama sekali.  Aku terus berjalan menyusuri trotoar di pinggir jalan besar,  yang jarang kutemui batang pohon yang menancap dan menjulang tinggi.  Hal inilah yang menyebabkan jarang ada orang yang mau bersusah payah meluangkan waktunya untuk berjalan kaki.  Aku sebenarnya ingin meminta kepada yandaku untuk mengantarku berangkat sekolah, tapi hal itu pasti akan sia-sia.  Paling saat aku telah membuka mata, ia sudah menghilang.
Ya sudah,  aku syukuri saja, toh memang benar kan kalau berjalan kaki itu sehat untuk tubuh? 

Sepanjang jalan mataku memandang lurus ke depan, trotoarpun sepi,  hanya ada satu dua orang yang berada di depanku.  Selebihnya hanya kendaraan yang berlalu lalang di sampingku. 

Netraku menangkap gapura yang berdiri kokoh menjulang tinggi,  akhirnya aku sampai juga di komplek rumahku.  Tapi,  rasanya agak aneh, tidak seperti biasanya.

Aku menangkap sekerumun orang berlalu lalang memasuki komplekku. Ada apa? Balutan orang berseragam hitam ? Hah? 

Beribu pertanyaan melintasi otakku,  aku terus memicingkan mata berusaha mengenali siapa saja yang berada di depanku. Tapi,  aku tidak bisa mengenali salah satu dari mereka semua. 

Satpam komplek memandangku dengan tatapan sedikit bingung,  langsung saja daripada aku penasaran aku menghampiri satpam komplekku. 

Tiba-tiba ada seorang pria dewasa yang telah mendekati pak satpam terlebih dahulu.  Aku menghentikan langkahku,  dan mencoba memahami interaksi diantara keduanya.

"Permisi pak,  saya mau tanya,  rumah kediaman Pak Rahardian dimana ya? "

"Mas lurus saja, nanti di depan ada perempatan,  mas belok kanan. Rumah Pak Rahardian ada di paling pojok,  rumahnya tingkat cat putih,  nomor 48."

"Baik pak terima kasih." Ucapan terimakasih mengakhiri percakapan mereka berdua. 

Loh loh loh?!?  Apa dia bilang?!?  Pak Rahardian Yandaku atau Paman Rahardian yang ada di belakang rumahku?? 
Aku bergeming,  semoga saja tidak ada sesuatu buruk yang terjadi dalam keluargaku.

Tanpa babibu,  aku segera berlari dengan kencang tanpa memperdulikan tatapan aneh yang memandangku. 

Saat mendekati rumah,  aku melihat banyak sekali kendaraan yang terjejer,  terparkir sembarangan di depan rumahku hingga ke samping rumah. Bendera kuning menghiasi tiang di sebelah rumahku. 

Badanku seketika luruh,  lemas.  Merasa tidak tertulang.  Dengan berat hati,  pikiran yang berkecamuk aku berjalan menuju rumahku,  pintu rumah terbuka dengan jelas.  Banyak orang yang masuk ke rumahku. 

Rasanya kakiku seperti jelly,  tidak mampu berjalan. 

Perlahan kutapakkan kakiku di tanah menyusuri pelataran rumahku, sulit sekali mencapai teras, puluhan motor harus kulalui dengan hati-hati satu persatu. 

Setelah berhasil melewati jejeran kendaraan,  aku berhasil memasuki rumahku.  Terlihat banyak sekali orang yang duduk di sofa rumahku. 

Jangan bilang.
TIDAK!!!  TIDAK!! 

Air mataku tidak bisa kubendung lagi.  Aku segera memeluk ibu Renata, dan kutumpahkan segala kesedihanku di pundaknya. 

Aku menangis tersedu-sedu. Aku tidak bisa mengekspresikan bagaimana hancurnya perasaanku sekarang.  Sakit.  Sangat sakit.  Beginikah sakitnya saat kehilangan orang yang kau cintai?

Ada sentuhan hangat yang menjalari puncak kepalaku,  Ibu Renata tersenyum menatapku, dan sedikit heran. 

"Cup, cup, cup.  Kamu kenapa Rei?  Jangan bilang kamu salah sangka?  Loh Rei,  yang meninggal adalah paman Rahardian.  Bukan ayahmu." Katanya dengan terus terang sambil mengusap-usap punggungku. 

"Bibi yang benar saja.  Astagfirullah.  Aku hampir kehilangan akal Bi.  Aku kira......" Jawabku dengan wajah sedikit sumringah.

Aku bersyukur, fakta mengungkapkan bahwa bukanlah Yandaku yang meninggal.  Tetapi, paman Rahardian.  Tetanggaku.  Memang namanya persis seperti Yandaku,  dan rumahnya tepat di belakang tembok rumahku.  Aku menghela nafas,  aku bertubi-tubi mengucapkan syukur kembali bahwa Tuhan sangatlah baik kepadaku.

Ya Tuhan,  maafkan aku yang telah berburuk sangka.  Aku tidak bisa membayangkan jika Engkau mengambil nyawa orang yang sangat kusayangi. 

Dengan keadaan duka seperti ini mengajarkan bahwa setiap insan harus siap menerima segala peristiwa yang akan menimpanya kelak.  Maut akan menjemput. Tidak peduli berapa umurnya,  masih mudakah atau sudah lanjut usia. 

Kuhapus air mataku yang telah berjatuhan di pipiku,  aku menuruti perintah Bibi, untuk mengganti pakaianku dan berkunjung ke rumah duka. 

Ternyata, banyak orang yang berada di rumahku, untuk  membantu memasak agar keluarga Paman Rahardian tidak melupakan kalau mereka harus makan.

Aku mengira kalau hari ini, akan menjadi hari terburukku sekaligus hal yang membuatku akan terpuruk.  Tetapi, Tuhan lagi-lagi sangatlah menyayangiku. 

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang