(91) Hakikat Sebuah Karma

1.6K 106 34
                                    

Special Bulan Ramadhan 😘🌙
_______________________________

Ada yang bilang hidup itu tidak adil. Dan, aku juga suka berasumsi seperti itu. Orang yang jahat, lama sekali dia bisa menghapus senyumannya di atas penderitaan orang lain. Sedangkan orang baik, selalu diberikan penderitaan yang tidak ada habisnya.

Tetapi, aku percaya dengan hukum alam. Apa yang kita tabur, maka itulah yang nantinya akan kita tuai.

Aku masih ingat betul dengan masa-masa kelamku dulu. Ah, ya aku jadi rindu Renata. Renata satu-satunya teman yang selalu memberiku dukungan, dan perhatian. Dimana dia sekarang? Aku merasa bersalah tidak mengabari dan mencari tahu tentang dia selama ini. Aku terlalu larut dalam kesedihan hidupku sendiri, sampai-sampai aku lupa bahwa nyatanya masih ada orang yang peduli terhadapku. Walaupun tidak banyak, hanya satu. Hanya Renata.

Aku sedang berusaha menemukan media sosial Renata, barangkali aku bisa menemukannya. Aku rindu dengannya, dan dia pasti marah terhadapku. Aku yakin itu.

Sembari mencari kontak Renata, aku juga mempersiapkan acara syukuran yang akan dilaksanakan di panti asuhan. Panti yang terkadang aku dan Bunda kunjungi. Terutama dengan Bunda, dia akrab dengan anak-anak panti setelah kepergianku. Makanya, aku mempersiapkan acara berbagi untuk anak-anak di beberapa panti atas kesembuhan Bunda.

"Bunda duduk saja, biar aku sama pegawai yang urus. Bunda tinggal terima beres, okay?" aku memastikan Bunda agar duduk anteng.

"Ah, iya iya. Kamu ini selalu saja melarang Bunda," manyun Bunda.

Tanganku dengan cekatan mengemasi cheese cake, dan karyawanku membungkus kado yang berisikan alat tulis serta perlengkapan sekolah.

"Mbak, berarti satu anak dapat satu kado sama alat tulis, ya?" cek pegawaiku.

Aku membenarkannya, "betul, satu anak dapat kado sama alat tulis lengkap."

"Nasi box-nya seratus box lagi hampir jadi, Mbak."

"Siap, biar nanti aku sama Mas Axel yang bagi untuk orang yang membutuhkan di jalan," balasku.

Selain berbagi untuk panti, aku juga ingin membagikan untuk orang di pinggir jalan. Khususnya nasi box yang kumasak dengan pegawaiku. Aku berharap agar bisa membantu orang-orang yang kelaparan. Tujuanku juga untuk membersihkan sebagian harta yang kupunya.

Aku memberikan gunting ke pegawaiku, "aku beli gunting lagi nih, Mbak."

Pegawaiku menerimanya, "makasih, Mbak."

Kami melanjutkan pekerjaan dengan cepat karena sore ini agendanya. Jam menunjukkan pukul dua siang.

"Semangat, Mbak! Tiga jam lagi kita berangkat, ya!"

"Yuk, semangat, kuy! Yuk, bisa yuk!" semangat pegawaiku juga tidak pernah luntur.

Bunda datang menghampiriku, dan diam-diam membantuku untuk mengemas.

"Nanti Axel juga ikut, Rei?" tanya Bunda dengan tangan yang sibuk mengguntingi pita.

Aku menoleh dan berkata, "ikut kayaknya, Bun. Tadi sih bilangnya gitu."

Bunda kembali menyimpulkan pita di atas box kado supaya cantik.

"Cantik, manis banget, Rei," kata Bunda melihat kado yang telah selesai dihiasnya.

"Iya, cantik, Bun," aku turut menengok hasil garapan Bunda.

Aku bangkit dan memasukkan bingkisan tersebut ke dalam kardus besar yang telah ada di pojok ruangan kerjaku. Aku membereskannya agar bisa muat banyak.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang