(86) Perpisahan-Bunda Pingsan

1.6K 120 40
                                    

Aku menyemprotkan minyak wangi di tubuhku agar lebih segar, tak lupa aku polesi bibirku dengan lipstik berwarna soft. Cukup membuat diriku terkesan feminim dan lembut. Malam ini, aku akan bertemu dengan mamah di kedai pukul lima bersama Mas Axel juga. Mas Axel sudah menunggu di luar sambil makan cheese cake. Aku keluar dari kamarku menemui Mas Axel. 

"Kamu selalu cantik, sayang," Mas Axel mengutarakan pujiannya yang membuat bibirku melengkung sumringah. 

"Ayo, Mas kita pergi." 

"Pamit dulu sama Bunda, sayang," Mas Axel berdiri merangkulku. 

"Bunda dari sore pergi, Mas. Katanya mau ketemu temannya gitu, aku juga nggak tahu." 

"Oh, ya udah deh. Let's go!" 

Kami melangkah bersama keluar dari kedai. Sebelumnya, aku menitipkan pesan kepada pegawaiku terlebih dahulu. 

"Mbak, aku pergi dulu, ya. Kalau ada apa-apa kabarin aku, ya," titipku pada pegawaiku yang duduk di meja kasir yang sedang menghitung uang. 

"Iya, Mbak. Have fun ya, Mbak!" 

Lalu, aku keluar dari kedai menuju mobil. Di sepanjang jalan, kami bergurau membicarakan hal-hal yang nyeleneh. Tapi, bersama dengan orang yang dicintai segalanya akan terasa menyenangkan. Aku menikmati momen berdua bersama Mas Axel. Jalanan yang cukup padat, tidak membuat kami jenuh. 

Sampai di parkiran kedai kopi pukul lima, aku menyiapkan diriku untuk bertemu dengan mamah. Mas Axel juga paham dengan perasaanku, dia bersikap biasa saja tidak mencari tahu. Kami turun bersama, dan menuju dalam kedai. 

"Mah!" sapaku melambaikan tangan ke arah mamah. 

Mamah menyambutku dengan pelukan hangatnya. Wangi semerbak tubuhnya memenuhi rongga hidungku, wangi yang menenangkan. Pelukan mamah kali ini terasa berbeda, terlalu erat seperti orang yang tidak akan pernah bertemu kembali. Entahlah, aku hanya merasa sedikit berbeda saja. 

"An, Mamah kangen banget sama kamu." 

"Aku juga kangen sama Mamah. Mah, makasih ya urusan kedai udah clear kemarin."

"Sama-sama, An. Mamah lega kalau kedai udah balik nama jadi nama kamu, An. Mamah merasa nggak ada utang tanggungan lagi," jawabannya sedikit ambigu. 

Aku menyelami tatapan Mamah yang menatapku sendu, matanya juga sayu tidak seperti biasanya yang selalu bersinar. Ada apa, Mah? 

"Kak Lucas mana, Mah?" 

"Lucas  ke kamar mandi, An. Dia sudah bisa berjalan walaupun masih harus pelan-pelan dengan tongkat." 

Kami bertiga duduk bersama saling bertukar pandangan. 

"Malam Bu Letizia, apa kabar, Bu?" cakap Mas Axel sembari berjabat tangan dengan Mamah. 

Aku sampai melupakan keberadaan Mas Axel. Dia merasa terkacangi di sini. Aku tertawa dalam hati. 

"Kabar saya baik, Xel. Ngomong-ngomong kamu kemarin sudah melamar Ana, ya?" Mamah bertanya dengan nada kesenangan. 

"Benar, Bu. Kemarin saya sudah melamar gadis kecil ini," Mas Axel menjelaskannya dengan penuh percaya diri. 

"Selamat ya, An. Mamah berdoa agar kehidupan kalian ke depannya selalu disertai kebahagiaan. Axel tolong bahagiakan Reina, jangan pernah kamu sakiti dia. Kamu harus bisa membimbing Ana, ya," nasihat Mamah terdengar lembut. 

"Amin, Mah."

"Sudah tugas saya membahagiakan Reina, Bu. Saya lebih memprioritaskan kebahagiaannya, selalu dan kapan pun," suara Mas Axel dengan tegas. 

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang