(38) Kemana Aku Pergi?

3.5K 190 23
                                    

Kasih semangat buat Reina ya guys 😭
Happy reading!
____________________________________

Bumi masih belum puas meluapkan kesedihannya dengan terus menangis tanpa henti. Hujan turun tak kunjung reda, bahkan makin lama tubuhku sudah bergetar kedinginan. Hawa dingin menusuk tulang belulangku yang menonjol akibat lemak dalam tubuhku tidak banyak. Air terus mengalir, berlomba-lomba mencari tempat yang bisa dilintasi supaya menemukan permukaan yang lebih rendah.

"Mengapa bumi terus menangis? Tidakkah kau lelah?" Aku mencoba bertanya kepada bumi yang terus dibanjiri air hujan.

Mungkin, bumi akan menjawab "Aku menangis sebab dipaksa menyaksikan kehidupan manusia yang dipenuhi hiruk pikuk kebencian yang tumbuh beriringan dengan kebahagiaan. Kebahagiaanpun lenyap akibat kebencian yang diciptakan oleh orang yang tidak pernah bersyukur."

Tidakkah manusia juga memikirkan perasaan tanah yang tiap kali turunnya hujan seharusnya bisa puas meminum air rahmat Tuhan tetapi sekarang keberadaan tanah kian lama menyempit? Airpun menjadi kalang kabut tidak bisa menemukan tempat yang tepat untuk dialiri. Tanah menghilang, digantikan dengan semenan plester bangunan yang manusia buat di pekarangannya. Sedih, bercampur kesal. Maka, tidak menjadi kesalahan air jika berkumpul menggenangi jalanan. Jangan salahkan banjir, telisiklah kembali apa yang menjadi penyebab air murka?

Yeah, kemurkaan air yang membuatnya menjadi kalang kabut tidak bisa menemukan tempat peresapan sama halnya denganku. Aku tidak tahu dimana tempatku berpulang, seolah dibuang tidak terima siapapun. Aku tidak diberi celah sedikitpun untuk berpijak di suatu tempat. Lantas, aku tidak tahu harus pergi kemana, aku hanya mencoba berperan menjadi air yang melintas mengikuti arusnya tanpa tahu tujuan yang pasti. Ingin mencoba melawan arus, tapi rasanya aku masih belum bisa melakukannya.

Menyelami apa yang dipikirkan oleh bumi, kedua tanganku terulur lurus ke depan untuk menadahi air hujan. Sekedar merasakan sensasi tusukan karena saking derasnya hujan berjatuhan. Memejamkan mata seraya merilekskan otak yang tadi sempat mendidih, aku berdiam diri. Aku memilih untuk berteduh sebentar di bawah pohon rindang di tepi jalan. Tidak tahu detail posisiku saat ini dimana, yang kutahu pasti aku telah berjalan jauh, menjauhi tempat terkutuk yang penuh kesialan.

Orang yang lewat akan berasumsi kalau aku adalah orang gila, yang memilih berteduh di bawah pohon sendirian daripada berteduh di emperan pertokoan sebrang jalan yang ramai orang singgah di sana.

"Ah, apa peduliku? Bukankah memang tidak ada orang peduli padaku?" Enyah batinku berusaha memaklumi keadaan yang tengah terjadi.

Banyak pengendara roda dua yang menepikan kendaraannya agar tidak terkena cipratan yang ditimbulkan oleh si roda empat. Pengendara tersebut ada yang memang sudah memakai jas hujan, dan ada yang tidak peduli alias main tabrak hujan saja. Memang, apabila kita berjalan di kala hujan tidak menutup kemungkinan terkena cipratan air jalanan yang kotor yang mengotori pakaian kita akibat pergerakan roda mobil yang melintas dengan cepat. Sakit rasanya bila tubuh terkena air kotor, tapi kembali lagi itulah risiko terus berjalan melawan hujan di jalanan.

Merasa terhina? Jelas. Apalagi, jika yang dilakukan oleh pengendara mobil adalah kesengajaan, melintas dengan kecepatan tinggi padahal ia sudah tahu di depannya banyak lubang yang digenangi air kotor.

Maka dari itu, aku sarankan berteduh sebentar menantikan hujan reda. Menghabiskan waktu sejenak untuk menyaksikan hujan bukan hal yang sia-sia. Dengan begini, kalian bisa mengetahui hakekat kesabaran dalam menantikan sesuatu.

"Tuhan, aku harus pergi kemana?" Pertanyaan yang akan menjadi favorit dalam kamus hidupku dalam waktu kedepannya. Rupanya, aku telah berjalan amat jauh sampai-sampai aku telah menjauhi pusat kota. Pantas saja, aku merasa kakiku sedikit lecet akibat berjalan jarak jauh tidak menggunakan sepatu. Aku benar-benar tidak tahu harus melangkah kemana lagi. Bahkan keadaanku sudah persis disebut orang stress yang berjalan terus tanpa tujuan. Bedanya, aku masih waras, akal sehatku masih jalan, hanya saja tanda tanya di kepalaku yang belum bisa kupecahkan.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang