(53) Dua Pilihan

2.1K 167 61
                                    

Rindu?
Jauh dalam lubuk hatiku, aku memang merindukannya. Amat sangat merindukannya.

Bertahun-tahun lamanya aku berangan-angan bertemu dengannya. Penampilannyapun sudah menjadi lebih dewasa, bahkan kuakui semakin tampan. Pesonanya makin bersinar.

Bohong, kalau aku menampik fakta aku tidak pernah berharap menantikan perjumpaan dengannya lagi.

Tapi, egoku jauh lebih besar daripada rindu. Kebencianku juga tak kalah besarnya melebur menjadi satu dengan egoku.

Cinta yang bodoh memang harus disudahi.

Aku tidak mau terjebak dalam rantai yang susah payah kuputus sendiri. Aku takut rantai itu kembali bangkit menjerat.

Aku menolak untuk cepat-cepat bangun dari ketidaksadaranku. Malah aku ingin menghilang dari muka bumi ini saja.

Tolong, doraemon bantu aku, bawa aku pergi dengan kantong ajaibmu.

Kalau saja di dunia ini ada kantong ajaib doraemon, aku menjadi orang yang akan sering masuk di kantong ajaibnya.

Kalau saja.

Doraemon adalah kartun fantasi yang tercipta dari imajinasi manusia.
Sama saja denganku yang terlalu banyak berilusi akan kehidupan yang bahagia tanpa beban.

Mustahil.

Bunyi tetesan infus mengusik tidurku yang sudah berusaha kuatur senyaman mungkin.

Aku menolak untuk bangun.
Batinku menangisi takdir yang selalu saja tidak berpihak padaku.

Aku ingin hidup tenang.

Aku sudah berusaha berdamai, melupakan masa lalu.

Namun, hari ini Tuhan mempertemukanku kembali dengan orang yang memiliki andil penting dalam merusak hidupku. Tuhan mengujiku kembali dengan mengirimkannya di saat aku sudah hampir melupakan luka lama yang sedang berada di tahap proses pengeringan.

Sekarang, luka lama itu kembali berdarah. Jauh lebih perih dari sebelumnya.

Aku belum siap jika harus terjerat masalah dalam waktu sesingkat ini.

Apakah aku kurang banyak berdoa pada Tuhan?

Aku tidak tahu. Bisa jadi iya. Aku kurang khusyuk dalam berdoa, mungkin permintaan akan diberi hidup bahagia kurang begitu ikhlas mendalam.

Menurutku, aku harus lebih giat beribadah meminta pengampunan kepada Tuhan agar dibebaskan dari bayang-bayang masa laluku.

Tapi, saat ini sudah terlambat. Aku kembali diseret berperan sebagai Reina lagi.

"Reina ayo bangun."

Panggilan akan nama Reina membuat relung jantungku nyeri bagai ditikam benda runcing yang tepat menancap di bagian tengah jantung.

Nama sial yang sudah lama kuhapus, dan aku telah menggantinya dengan Luciana.

Ingatlah, Reina adalah anak sialan yang tak pantas mendapatkan kehidupan yang bahagia.

Aku benci nama Reina!

Aku sudah cukup bahagia menjadi Luciana.

Sebaiknya, aku berpura-pura untuk tetap terpejam saja. Daripada, aku harus bangun dan hal yang pertama kulihat adalah wajah dari pria brengsek itu.

"Aku tahu kamu sudah bangun. Cukup, jangan berpura-pura bertingkah seperti orang asing Rei." Kata-katanya yang membuat hatiku sesak tak bisa bernafas.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang