(29) Remuk Redam

3.7K 198 14
                                    

Keesokan paginya. 

Dewi batinku mengatakan keadaan Bunda memang sedang tidak baik-baik saja. Ditambah, ini juga pengaruh kontak batin yang terikat kuat antara aku dengan Bunda,  dan ingatlah setiap tetes darah Bunda juga mengalir dalam tubuhku.

Apakah aku harus mengalahkan egoku sendiri untuk kali ini? 

Apa aku harus menelpon Bunda?

Tetapi, mana sudi Bunda mengangkat teleponku? 

Tuhan,  aku harus bagaimana?

Tolong bantulah aku. Kataku dengan lesu dalam hati seraya merapalkan doa meminta agar Tuhan memberiku petunjuk untuk mendapatkan sebuah pertolongan.

Matahari telah menampakkan dirinya di hamparan langit luas. Sinarnya memancar menerangi bumi yang semula gelap gulita menjadi terang benderang. Angin berhembus kencang menggoyangkan dedaunan yang menggantung di ranting pohon, membuat siapapun yang merasakan betapa kencangnya angin akan terasa sejuk. Orang berlalu lalang melintasi hiruk pikuk kehidupan di pagi hari untuk mengais pundi-pundi rupiah. Cuaca yang sangat mendukung dan disyukuri oleh para makhluk di muka bumi. 

Cuaca cerah sekaligus sejuk yang seharusnya sangat dinikmati orang lain berbanding terbalik dengan suasana hatiku sekarang.  Suasana hati yang teramat gelisah tak menentu.  Aku jauh memikirkan hal yang tidak pasti,  aku menduga-duga akan keadaan orang yang sama sekali tidak mengharapkan kekhawatiranku.  Memang bodoh,  aku justru memikirkan orang yang jelas-jelas sudah membuangku. Tetapi,  sebenci-bencinya hatiku terhadapnya,  tetap saja hukum alam tidak akan pernah mengkhianatiku.  Aku tetaplah anak kandungnya, anak semata wayangnya. Jika,  bukan aku yang mengkhawatirkannya, siapa lagi?

Aku menghela nafas dalam-dalam berusaha menetralkan gemuruh yang memenuhi rongga dadaku. Rasa sakit kembali menggerogoti perisai hatiku.

Kedua tanganku memegang dadaku erat-erat mencari sumber pesakitan yang menyerang.
Sebenarnya, ada apa? Mengapa rasanya begitu menyakitkan?

Aku menatap kosong layar ponselku yang masih dalam keadaan redup.  Aku belum menyalakan ponselku,  pantas saja tidak ada dering notifikasi yang masuk.  Tanganku terulur untuk mengambil ponsel dan menekan tombol untuk menghidupkannya. Tidak membutuhkan waktu yang lama ponselku sudah menyala.  Benar saja,  dalam hitungan detik banyak sekali notifikasi getar pesan yang masuk. Pesan dari Renata,  hingga percakapan grup kelasku.  Masa bodoh dengan grup kelas,  aku tidak peduli dan tidak berminat untuk membahasnya. 

Aku merasa berdosa mengabaikan pesan yang dikirimkan Renata untukku sejak tempo hari.  Mau bagaimana lagi? Situasi dan kondisi yang terjadi kemarin memang tidak mendukungku untuk membuang waktu hanya sekedar mengecek ponsel. Berdiam diri, mengistirahatkan hati dan pikiran adalah pilihan yang terbaik.  Jadi,  aku memang tidak sempat untuk memegang ponsel. Aku yang ingin mengurangi rasa bersalahku,  segera membalas pesan Renata dengan sejelas mungkin.  Jariku dengan lihai menceritakan setiap detail rentetan peristiwa yang kualami dari awal hingga posisiku saat ini.  Tidak ada bagian yang aku lewatkan sedikitpun,  aku berharap Renata memaklumiku kondisiku yang memang benar-benar kacau. 

Setelah mengirimi pesan yang cukup panjang kepada Renata,  aku beralih mengecek media sosial milik Bundaku. Sangat mudah untuk mencari identitas Bunda,  karena jika aku mengetik kata Reina Rahardianpun sudah pasti langsung muncul berita-berita yang meliputnya.  Maklum saja,  Bunda kan wanita karir yang sempurna. Semua orangpun mengetahui betapa cantik dan cerdasnya dia dalam kehidupannya.  Sangat disayangkan, semua orang dikelabuhi olehnya. 

Aku tidak berteman dengan media sosial milik Bunda.  Sangat lucu memang, antara Bunda dan anak tidak saling menjalin pertemanan di internet. Tetapi,  itulah kami.  Aku seolah menjadi orang asing untuknya. Beberapa kali aku memang mengecek dan ingin mengetahui kegiatannya,  karena biasanya Bunda rajin sekali memposting kegiatan yang sedang ia lakukan. Jangan berharap di media sosialnya ada fotoku,  jawabannya jelas mustahil.  Tidak mungkin. 

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang