(75) Deep Talk

1.4K 143 47
                                    

"Oke, sip! Beres deh!" riang Bunda menata ruangan kerjaku menjadi kamar.

Sebenarnya aku sedikit tidak tega dengan Bunda. Membiarkan Bunda tidur di kedai, di ruangan kerjaku. Kecerdasan otak Bunda merubah segalanya. Bunda menyulap ruanganku menjadi kamar yang nyaman untuk ditinggali.

Sebuah kamar baru yang berisikan kasur, lemari, dan beberapa perabot lainnya yang bergaya minimalis. Semua furniture Bunda yang memesannya. Bunda menyuruh asisten butiknya untuk membelikan peralatan-peralatan dan pakaian untukku dan Bunda.

"Aku senang Bun, akhirnya aku bisa pakai baju buatan Bunda." Pernyataanku sukses membuat Bunda kembali terharu.

"Sekarang kamu bebas, Rei. Silahkan kamu pilih baju sesuka kamu di butik Bunda, nanti asisten Bunda yang akan mengirimnya ke sini."

"Ini aja sudah cukup banyak buatku, Bun. Aku sudah bahagia."

Hari ini, tubuhku dibalut oleh dress cantik bermotif bunga-bunga yang diproduksi oleh seorang desainer yang piawai. Beruntungnya, desainer rain boutique adalah Bundaku sendiri.

"Kamu sekarang sudah dewasa, sudah waktunya untuk merawat diri, Rei."

"Iya, Bun. Walaupun aku belum mahir berdandan, setidaknya aku setiap hari terus mencobanya."

"Wajah kamu mengingatkan masa muda Bunda. Bunda seperti melihat bayangan muda Bunda di diri kamu."

Aku menarik sudut bibirku ke atas. Senyum manis tiap detik yang kulalui bersama Bunda tidak pernah luntur.

"Katanya Axel mau ke sini, Rei."

"Masa, Bun?"

"Iya, deh. Hayo, kamu mau diajak kencan tuh!" usil Bunda.

"Paling juga dia gabut, Bun. Makanya dia ke sini."

"Anak muda gengsinya memang besar," racau Bunda mengejekku.

Aku terkekeh membenarkan ucapan Bunda. Orang tua adalah ahlinya. Tidak mungkin bisa dibohongi.

Berbincang-bincang hangat bersama Bunda sembari menata perabotan. Kami berdua bergembira bersama.

"Rei, Letizia gimana? Bunda pengen ketemu dia, loh."

Semula tanganku sedang menggenggam ponselku, hampir saja terjatuh. Untungnya, dengan sigap aku menahan ponselku agar tidak terjun bebas.

"Hati-hati, Rei," pengingat Bunda.

"Mungkin sedang sibuk, kemarin aku hubungin juga enggak dibalas, Bun," dustaku.

Aku terpaksa berbohong. Karena aku tidak ingin Bunda mengetahui fakta tabiat asli Mamah. Bisa-bisa aku kembali dibuat pusing dengan konflik yang mungkin akan meledak. Aku belum sanggup.

Bunda menganggukkan kepalanya, "ya sudah, tunggu Letizia balas saja."

Tadinya jantungku sudah berdetak dengan kencang ketika mendengar Bunda menyebutkan namanya. Aku takut.

"Ngomong-ngomong, Lucas itu anaknya baik banget, ya."

"Kak Lucas memang baik, Bun. Hatinya tulus. Dia orang yang pertama kali menyelamatkanku dari sungai."

Bunda menegang. Bunda menatapku tajam. Bola matanya menyelamiku amat dalam.

"Sungai?" tanya Bunda lirih.

"Iya, aku pernah tenggelam, Bun. Lupakan saja, itu juga ulah kebodohanku. Jangan dipikirkan, Bun. Semua sudah baik-baik saja, kan?" Ucapku dengan menampilkan senyum.

Bunda menghentikan kegiatannya menata barang. Bunda mendekatkan dirinya denganku yang duduk di atas kasur.

"Andai saja beban penderitaan bisa dilimpahkan. Bunda siap menerimanya. Bunda siap terluka demi kamu, Rei."

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang