(58) Drama Gila

2.1K 128 52
                                    

"Semoga hari ini semuanya baik-baik saja." Aku mengepalkan tangan berdoa memohon kepada Tuhan.

Kicauan burung bernyanyi menjadi musik pengantar suasana pagi hari. Sinar matahari telah menerobos kaca jendela kamar. Asap kendaraan juga ikut mengepul di udara.

Aku tersenyum menyaksikan pemandangan pagi ini.

Pagi yang cerah.

Aku awali dengan semangat untuk pergi bekerja. Tak terasa telah beberapa hari lamanya aku meninggalkan kedai. Rasanya gatal tidak menyentuh adonan kue.

Aku menggerakkan jariku yang tampaknya kaku "Kayaknya jariku kangen olahraga ulenin adonan cheese cake."

Sudah mandi, sudah rapi, sudah wangi. Sudah siap semuanya. Tinggal berangkat saja kalau begitu.

Aku keluar kamar dan mendapati Kak Lucas yang sudah rapi dengan setelan kemejanya. Timing yang sangat pas, sama-sama bersiap untuk sarapan.

"Wah kok bisa samaan gini buka pintunya."

"Kebetulan, Kak."

"Bukan kebutulan. Tapi, emang jodoh mungkin."

Dia mengucapkan kata-kata jodoh dengan entengnya. Tanpa beban dan tanpa rasa malu. Dia mengangkat bahunya tanda acuh. Wajahnya juga biasa-biasa saja. Hanya saja perasaanku yang menjadi agak aneh.

Apa dia sudah tidak punya urat malu ya? Tapi kan, dia dokter. Pasti punya lah!

Aku mengacuhkannya, dan dia juga berjalan di sampingku. Kami berdua melangkah dengan langkah yang sama menuju ke ruang makan. Di sana sudah ada Mamah yang sudah duduk manis sambil memainkan ponselnya.

"Ayo anak-anak, kita sarapan dulu."

"Siap gerak." Kompak aku dan Kak Lucas menyahuti Mamah.

Beginilah suasana setiap pagi. Rutinitas sebuah keluarga normalnya memang begini. Sarapan bersama dengan anak-anaknya, berbincang mengenai jadwal kegiatan yang akan di jalani pada hari itu.

Aku tersenyum kecut mengingat kehidupanku dulu. Jalankan sarapan bersama, dipedulikan saja tidak. Bahkan, aku hampir tiap hari tidak pernah sarapan padahal aku harus berjalan kaki menuju sekolah. Paling aku hanya makan sekali dalam sehari, syukur-syukur bisa dua kali dengan mengandalkan uang yang diberikan Yandaku. Beruntung, aku tidak lemah. Seolah Tuhan tahu memberiku kekuatan.

Pada dasarnya, Tuhan memberikan cobaan kepada Umatnya sesuai dengan kekuatan masing-masing.

"Kok gak cuma diliatin aja, An? Ini kan nasi goreng kesukaan kamu." Heran Mamah menyenggol lenganku.

"Oh iya Mah, tadi aku cuma kepikiran kedai aja---."

"Bohong Mah." Potong Kak Lucas.

"Kamu mikirin apa, An?"

"Dia minta disuapin aku itu Mah."

"Hihh, Kak Lucas pede banget sih." Aku cemberut melirik wajahnya yang malah nyengir menggodaku.

"Yaudah, disuapin aja Luc. Ana lucu deh, main kode-kodean. Beruntung kamu peka Luc huahahahahaa"

"Aku kan selalu peka Mah, Ananya aja yang kadang gak sadar."

Aku tertawa menanggapi dialog Mamah dan Kak Lucas yang terang-terangan membicarakanku.

Bukannya tidak peka, tapi aku hanya takut untuk memulai kisah yang berhubungan dengan percintaan. Aku membatin dalam hati.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang