(88) Berangsur Pulih

1.3K 105 47
                                    

Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya seorang pasien bisa merasakan nyawanya kembali terkumpul setelah menjalankan operasi yang besar. Pengaruh obat bius yang disuntikkan pada aliran darah membuatnya mati rasa. Setengah hari yang kulakukan hanyalah duduk menghadap Bunda yang masih belum sadarkan diri. Di sampingku telah ada Mas Axel yang baru datang selepas menyelesaikan pekerjaannya yang juga menolong pasien. 

"Sabar aja, Rei. Prosesnya memang memakan waktu cukup lama, tapi kita tunggu saja Bundamu kapan akan sadar." 

"Heem, Mas," aku menyetujui perkataan Mas Axel. 

"Kamu mau makan apa, sayang? Kamu lapar, kan?" tanya Mas Axel.

Aku bingung dan menggembungkan pipiku, "apa aja, Mas." 

"Kita ke kantin rumah sakit aja, ya? Sekalian kamu bisa cari udara segar." 

"Boleh, aku bilang Yanda dulu." 

Aku menghampiri Yanda, dan bertanya kepadanya, "Nda, aku mau ke kantin. Yanda mau titip apa?" 

Yanda menoleh ke arahku, "seadanya yang ada di sana aja, Rei." 

Aku memahaminya, "ya udah, aku ke kantin dulu sama Mas Axel. Kalau butuh sesuatu telepon aku aja, Nda." 

Yanda manggut-manggut dan mengembalikan fokusnya ke arah Bunda. Yanda tidak sedikit pun mengalihkan pandangannya dari Bunda. Aku berharap semoga saja ke depannya Yanda benar-benar tidak akan pernah melukai Bunda lagi. 

Aku berbisik, "yuk, Mas. Ke kantin dulu sekalian beliin Yanda makan." 

Mas Axel berdiri dan berjalan lebih dulu dariku. Kami mengamati keadaan rumah sakit yang terpantau juga ramai. Tidak sedikit dari mereka yang teriak histeris, dan juga tersenyum penuh syukur. Pemandangan yang sudah umum bagi Mas Axel, tapi tidak denganku yang minim pengalaman dunia rumah sakit. 

"Begitulah suasana rumah sakit, sayang. Kamu jangan syok lagi, ya," ujar Mas Axel yang tampak bisa membaca arus pikiranku. 

"Nggak ada yang bisa ngalahin sikap tenang pak dokter, lah. Hebat kamu pak," pujiku. 

"Darah seolah menjadi parfum sehari-hari yang dicium oleh kami sebagai tenaga medis. Siap tidak siap, Mas harus bisa mengedapankan nyawa pasien Mas daripada masalah Mas sendiri. Makanya, kamu jangan merasa tidak dipedulikan sama Mas ya besok, ketika Mas lebih memprioritaskan keadaan darurat pasien Mas," penjelasan Mas Axel sering kudengar. 

Ya, bagaimana pun nantinya aku harus mengesampingkan egoku. Aku harus ingat bahwa tanggung jawab yang dipikul Mas Axel sangat berat. Aku tidak boleh egois. Aku menanamkan prinsip tersebut dalam diriku. 

"Aku paham kok, Mas. Aku ngerti," aku menambahkan senyum tulus di akhir pembicaraan. 

Kami memilih untuk duduk di kursi yang dekat dengan kasir. Kebetulan hanya dua kursi ini yang tersisa, yang lainnya sudah diisi dengan orang lain. Mas Axel menyuruhku untuk duduk terlebih dahulu, takut keduluan orang. 

"Kamu duduk aja ya, Mas pesankan. Mau apa? Nasi goreng? Soto?" tawarannya begitu menggiurkan. 

Aku bersemangat menjawabnya, "mau soto aja, Mas. Nggak pedas ya." 

"Siap tuan puteri, sebentar ya," katanya dengan mengacungkan jempol. 

Sembari duduk, aku memainkan ponselku dan membalas pesan yang masuk dari pegawaiku. Aku mengatakan bahwa kondisi Bunda sudah berangsur pulih, hanya menunggu sadarnya saja. Sementara itu, aku juga masih rutin membaca pesan dari Mamah. 

Mas Axel berdiri di sampingku sambil membawa nampan, "ini tuan puteri pesanannya. Soto ayam tidak pedas, dan jus jambu yang bagus untuk meningkatkan imun tubuh." 

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang