(92) Rentetan Peristiwa

1.4K 102 42
                                    

Perasaanku dan Bunda menjadi tenang setelah kemarin berbagi. Tibalah saatnya untuk menjalani kehidupan seperti biasanya, saling mengasihi. Tidak ada yang boleh saling menyakiti. Semuanya harus penuh dengan kebahagiaan.

Aku kira kejutan demi kejutan yang diberikan Tuhan kepadaku sudah usai. Sangat tersambar rasanya dikagetkan dengan pertemuan kembali dengan temanku dalam kondisi yang berbeda. Sudah cukup. Sebenci-bencinya perasaanku, tetap saja aku tidak tega melihatnya tersiksa. Aku sadar, bukan kewajiban utamaku untuk menolongnya, sebab dirinya masih memiliki orang tua dan saudara yang sebenarnya peduli.

Aku duduk melamun di samping kaca kedai yang menghadap ke jalan. Aku duduk dengan tangan yang menopang daguku. Aku masih menerawang langit-langit yang tampak cerah. Semburat awan juga kentara, menandakan bahwa tidak akan turun hujan.

Ada seseorang yang menepuk pundakku, "An?"

Ana. Hanya ada dua orang di dunia ini yang memanggilku Ana.

Aku yang merasa terpanggil langsung menoleh, "halo, Kak."

Kak Lucas langsung duduk di hadapanku, "kamu apa kabar, An?"

Aku menyinggungkan senyum, "kabar baik, Kak. Gimana sama keadaan kaki Kak Lucas? Aku lihat sudah sembuh, ya!"

"Syukurlah, Kakak sudah sembuh, An. Berkat dukungan kamu juga kan, Kakak akhirnya bisa bangkit."

Senyuman terpatri di wajah Kak Lucas. Aku ikut senang dengan kesembuhannya.

"Kak Lucas sendirian?" tanyaku dengan menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Kakak sendiri aja, An. Tadi habis dari rumah sakit langsung mampir sini," jawabnya.

Aku membulatkan mulutku membentuk huruf "o".

"Kamu kenapa kayaknya tadi kok kayak orang lagi mikir berat?"

"Nggak papa, Kak. Biasalah urusan pekerjaan."

"Jangan bohong, An. Kamu masih aja nggak bakat buat bohong tau," selidiknya yang tepat.

Aku menghembuskan napasku, "hehehehe... Ya ada sesuatu, tapi bukan hal besar kok, Kak."

Kak Lucas menepuk pundakku, "Kakak yakin kamu pasti bisa lah sanggup untuk selalu kuat."

Aku memandangi wajah Kak Lucas yang terlihat kurus. Kantung mata yang tebal, dan lingkaran mata yang hitam sudah menunjukkan betapa lelah badannya. Kak Lucas datang mengenakan kemeja merah.

"Kakak mau aku ambilin cheese cake?" tawarku.

"Nggak usah, tadi Kakak sudah pesan sama pegawai kamu. Mamah tadi yang minta dibelikan, An," jelasnya.

Mamah. Ah, sekelebat perasaanku menjadi gusar mendengar nama Mamah.

"Kenapa Mamah nggak ikut, Kak?"

"Mamah lagi capek aja, An. Makanya Kakak biarin aja istirahat di rumah."

"Tumben, Kak. Biasanya Mamah selalu energik."

"Ya, maklum namanya juga tambah tua, An," candanya.

Aku menoleh dan melihat pegawaiku datang membawa kantong plastik berisikan cheese cake untuk Kak Lucas. Setelahnya, pegawaiku kembali ke kasir. Namun, sebelum aku ingin membuka mulutku untuk berbincang dengan Kak Lucas, ponselku lebih dulu berdering.

Drttt

Bunda is calling.

"Siapa, An?"

"Bundaku, Kak. Aku angkat dulu, ya," izinku.

Kak Lucas mengangguk. Dan, aku menekan tanda terima telepon.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang