(85) Ada Yang Aneh

1.1K 109 46
                                    

Enam bulan kemudian.

Hari demi hari kulalui dengan senang hati. Begitu pula dengan Bunda, semakin lama Bunda betah di kedaiku. Janji yang Yanda ucapkan untuk membelikan rumah untukku memang benar ditepati. Tetapi, namanya juga Bunda, orang yang lebih mengenal Yanda jadinya lebih dulu membaca skenario yang dibuat Yanda. Bunda tahu kalau rumah itu pemberian Yanda.

"Bunda tahu rumah itu yang beli Yandamu, kan?" tanya Bunda dengan percaya diri.

Aku menoleh, "dari mana Bunda tahu?"

"Bunda selalu hafal dan bisa menebak gelagat Yandamu, Rei."

"Oh, iya. Betul, Bun. Rumah itu Yanda yang beli kemarin, katanya buat aku sama Bunda biar bisa tidur nyaman."

"Di kedai kamu juga sudah nyaman, Rei. Bunda lebih suka di sini," ucap Bunda menolak halus.

Bunda masih menolak Yanda. Heum..

"Nggak papa, Bun. Aku juga betah di kedai," aku juga turut membenarkannya.

Aku mulai bangkit dari tempat tidur menuju kaca. Aku mulai menyisir rambutku agar terlihat lebih rapi.

"Ngomong-ngomong, kamu habis ini mau ngapain, Rei?"

Sambil menyisir aku menjawab, "aku mau cek bahan di dapur, Bun. Takutnya ada yang habis."

"Pesanan hari ini banyak banget yang masuk. Keren kamu, Rei!" puji Bunda mendekatiku.

Bunda mengambil alih sisir yang kupegang. Bunda mulai menggerakkan tangannya untuk menyisir helai demi helai rambutku. Bak anak kecil yang disisiri ibunya sendiri. Aku tersenyum sambil menatap bayangan tubuh kami berdua di pantulan kaca.

Ternyata, begini rasanya rambutku disisir Bunda. Aku membatin kegirangan.

Bunda menata rambutku dengan telaten. Maklum, desainer yang cenderung mengutamakan penampilan membuatnya ahli membentuk tatanan apik.

"Sudah rapi, ini sisirnya," kata Bunda dengan mengembalikan sisirnya kepadaku.

"Terima kasih, Bunda. Aku ke dapur ya, Bun," tulusku tersenyum padanya.

Aku meninggalkan kamar agar bisa mengecek kondisi dapur. Alangkah ramainya kedai membuat pegawaiku kewalahan hari ini. Pesanan yang masuk cukup membludak, lebih banyak dari biasanya. Aku mensyukurinya.

"Mbak, bahannya gimana? Ada yang habis?" aku bertanya sambil berjalan menuju lemari berisikan bahan.

"Mbak, tepungnya sekarat deh kayaknya," ujar salah satu pegawaiku.

Lalu, mataku bergeliat ke arah rak tepung.

"Iya nih, udah tinggal dikit. Oke, aku beli ya habis ini. Ada lagi?" kedua kalinya aku bertanya.

"Vanili juga, Mbak. Daripada bolak-balik."

Ah ya, aku juga mendapati vanili yang tersisa 6 botol saja. Pasti tidak akan cukup nantinya. Usai mengecek daftar bahan di lemari, aku menutupnya kembali.

"Sementara habis ini aku beli tepung sama vanili, ya. Kalian mau titip apa buat nanti lembur?"

"Nggak usah, Mbak. Itu aja vanili sama tepung."

"Mau kopi, nggak?" tawarku.

Pegawaiku dengan cepat menjawab sambil menoleh, "eh, nggak usah. Beneran, nggak usah, Mbak."

"Oke, deh. Aku pergi ke toko bahan, ya. Kalau ada yang kurang kabarin aku aja, ya!" himbauku.

Pegawaiku menghentikan pekerjaannya, dan memberi lambaian tangan kepadaku.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang