(28) Firasat Bunda

4K 214 12
                                    

"Bunda!!!!!" Suaraku memekik kencang memanggil nama bundaku. 

Sambil memanggil bunda dari kejauhan,  aku terus melangkah mengejar sosoknya. Aku mengejar bunda yang juga berlari menuju taman di pinggir kota. 

Ada yang janggal,  mengapa pundak bundaku bergetar?  Ada apa? 
Bunda berlari sambil membekap mulutnya dengan salah satu tangannya.  Sedangkan,  tangan satunya lagi sibuk mengucek-ngucek matanya. 

Aku memiliki dugaan kuat bahwa Bunda itu sedang menangis.  BUNDA MENANGIS!

Baru kali ini, sepanjang hidupku  melihatnya seperti orang yang rapuh.  Berlari tak tentu arah sambil menitikkan air mata. 

Biasanya ia menampakkan sifat berkuasa,  layaknya seorang pemenang di segala hal.  Kemana peran antagonis yang biasa ia perankan? Batinku menerka-nerka pasti bunda sedang mengalami hal yang berat.

Tetapi, kali ini berbeda.  Aku mempunyai firasat kalau hati bunda sedang terluka sangat dalam.  Bahkan,  hatiku juga ikut teremas melihat keadaan bunda. Aku tidak tahu hal apa yang telah terjadi.  Sebenci apapun bunda padaku,  aku tetap menyayangi bunda.  Aku tidak rela ada orang yang menyakiti hati bundaku.

Ada apa ini?  Aku yang dilanda rasa penasaran, terus menerus mengejar langkah kaki bunda yang layaknya tidak merasakan lelah.

Aku berlari tergopoh-gopoh,  karena aku baru sadar. Aku hanya memakai sandal.  Aku tidak membayangkan,  bagaimana kalau aku tersandung, bisa-bisa aku terjatuh dan kehilangan jejak bunda. 

"Bunda!!"
"Bunda!!"
"Bun..daa!!"
Aku terus meneriakinya tanpa henti dengan nafas tersenggal-senggal,  berharap bunda bisa mendengar suaraku.

Hanya kesia-siaan yang kudapatkan,  bunda sama sekali tidak mengindahkan panggilanku.  Ia terus berlari, dan berlari tanpa henti.  Aku sampai dibuat bingung olehnya.

Aku mempercepat langkah kakiku, semoga saja aku bisa lebih dekat menggapai bunda. 

Baru saja aku hendak mempercepat langkah kakiku, tiba-tiba saja badanku terhuyung ke depan.

Brukkkkkk

"Awhhh" aku duduk tersimpuh di paving trotoar jalan. Rasanya sakit sekali, aku meringis kesakitan akibat benturan kakiku yang cukup kuat mengenai paving. 

Aku mengecek keadaan kakiku,  dan tanpa sadar jariku menyentuh telapak kaki dan menemukan cairan berbau anyir.

"AAAAAAAAAAAA" Aku meringis kesakitan.

Aku dapat merasakan badanku benar-benar terjatuh,  tetapi kali ini berbeda aku merasakan badanku tergeletak di lantai.

Jangan bilang kalau aku. 

Jadi,  barusan aku hanya bermimpi?!?  Yang benar saja!  Aku hampir dibuat mati penasaran dengan mimpi konyol seperti tadi! 

Aku membuka kedua bola mataku dengan malas, hal yang pertama aku temui adalah lantai.  Aku tergeletak dalam posisi mencium lantai. 

Poor you Reina.

Mengenaskan sekali. 

Aku bangkit dari posisi bodohku ini,  menuju ranjang.

Eh, baru saja aku berdiri tetapi aku menemukan sosok lain yang juga ikut tertidur di atas ranjang yang kutiduri.  Om Axel.

Jadi,  aku ini tidur satu kamar dengan Om Axel?  Aku malu sekali. Bagaimana mungkin aku tidur satu kamar bahkan satu kasur yang sama dengan laki-laki? Apalagi laki-laki yang notabennya tidak memiliki hubungan darah denganku.  Tidur dengan yandaku saja aku tidak pernah.  Malah sekarang aku tidur dengan Om Axel. 

Aku yang tidak enak hati berjalan menuju ke luar kamar. Aku mengedarkan pandanganku menuju segala penjuru ruangan. Luas ruangannya tidak terlalu besar,  tetapi tidak terlalu kecil.  Saat aku keluar kamar,  yang kutemui pertama kali adalah ruang tamu.  Ruang tamu sederhana yang diisi dengan sofa mini, tv,  dan yang menarik perhatianku adalah adanya pintu balkon yang mengarah ke luar. Pintu balkon tersebut berbahan dari kaca,  sehingga aku bisa melihat gemerlap indahnya suasana kota di malam hari.  Aku tersenyum memandangi lampu-lampu yang menjadi pemandangan indahku malam ini. 

Ternyata,  di sebelah ruang tamu itu adalah dapur minimalis.  Hanya ada kulkas,  kompor,  tempat cuci tangan dan meja makan untuk dua orang.  Aku penasaran dengan apa yang ada di dalam kulkasnya,  dan saat aku membukanya bau sayur-sayuran dan buah-buahan langsung terlintas di indra penciumanku.  Benar-benar menu yang sehat!  Maklumlah,  Om Axel kan seorang dokter,  pasti ia menjaga pola makannya.  Aku merasa beruntung bisa mengetahui isi apartemen Om Axel. 

Lalu,  aku beranjak menuju ruang tamu lagi.  Netraku berputar mencari-cari ruangan lain yang kuharap adalah kamar tidur yang bisa kugunakan.  Tetapi,  hasilnya nihil.  Tidak ada ruangan lagi selain ruang tamu,  dapur,  dan kamar yang tadi aku tempati. 

Lantas, aku harus tidur dimana?  Mana mungkin aku kembali tidur satu kasur dengan Om Axel lagi.  Aku menjamin,  malah aku tidak bisa tertidur dengan tenang.  Aku mengetuk-ngetuk daguku berusaha memikirkan dimana aku bisa tertidur. 

Nah,  itu dia!  Mataku menangkap sofa mini di ruang tamu. Ada baiknya aku tidur di sofa saja,  lagipula cukup untukku.  Tidak masalah tidur di sofa,   toh sofanya juga empuk dan nyaman untuk digunakan.

Baiklah,  aku memutuskan untuk kembali tidur di sofa ruang tamu.  Dan saat aku mengecek jam,  ternyata sekarang masih pukul 3 dini hari.  Untung saja,  tadi Om Axel tidak terbangun saat aku teriak. Kasihan ia pasti lelah mengurusku. 

Aku mencoba memejamkan kedua bola mataku dengan perlahan.  Semoga saja,  aku bisa terlelap dengan damai. Namun,  perasaanku kembali tidak nyaman.  Rasanya karu-karuan,  seolah ada yang mengganjal.

Untuk mengindahkan rasa ketidaknyamananku, aku berpindah posisi menyamping mengarah ke pintu kaca. Barangkali dengan menatap suasana gemerlap di luar sana bisa mengenyahkan perasaanku. 

Sungguh gelisah benakku, jantungku berdetak kencang dan hatiku serasa diremas kuat-kuat.  Sakit.  Perih. Gelisah. Bercampur menjadi satu.

Mengapa bisa aku merasakan hal ini?  Padahal,  aku sedang dalam kondisi yang seharusnya dibilang tenang.  Tidak lagi berada di rumah,  tidak lagi berada di dalam nereka.

Aku ini kenapa?  Tanyaku dalam hati. 

Apakah ini memang sebuah firasat yang menunjukkan keadaan bundaku memang sedang tidak baik-baik saja?  Apa karena aku masih larut dalam kesedihan akibat luka yang ditorehkan yandaku?  Batinku sangat mengelak kalau kegelisahanku ini disebabkan perihal yandaku. 

Bukan. Bukan karena yandaku. 

Sangat jelas sebenarnya pusat pikiranku beralih kepada bundaku.

Bunda sedang apa?  Bunda dimana? Apa Bunda sakit? 

Arggghhhhh. Aku mengacak rambutku dengan kasar,  menandakan aku sedang frustasi.  Memang benar aku frustasi karena memikirkan bundaku.  Bunda yang jelas-jelas tidak menginginkan kehadiranku, tetapi aku masih berharap padanya.

Semoga Bunda baik-baik saja.  Secepatnya aku harus mengetahui kondisi Bundaku. 

___________________________________

Guysss maaf banget yaaa aku baru update sekarang 😭🙏

Nihh buat obat kangen kalian sama Reina ❤❤ jangan lupa pencet tanda bintang ya 💕

Kira-kira Bunda kemana sih? Kok tumben gak nongol-nongol ya??  Kepo gakk kaliann?? 

Tungguin di chapter selanjutnya yahhh!! 

Thank u guys!! 









[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang