(70) Dua Kepingan

1.5K 116 34
                                    

Aku kembali begadang semalaman. Aku masih memikirkan fakta-fakta baru yang kutemui. Fakta yang menyakitkan memang.

Aku belajar satu hal. Pergi dari masalah dengan mengharapkan kehidupan yang lebih baik lagi, belum tentu akan mendapatkan kebahagiaan. Bisa jadi, malah semakin terjun ke lubang yang salah.

Om Axel menyarankanku, agar sementara waktu aku tinggal di kedai dulu. Tapi, aku harus pamit dan meminta izin kepada Kak Lucas.

Aku berpikir seribu kali untuk menghubungkan peristiwa demi peristiwa yang telah kulalui. Aku masih bingung dengan apa yang terjadi.

Bunda.

Bunda pasti tahu ini semua.

Aku yakin, jawaban semua ini akan terpecahkan dengan bertanya pada Bunda.

Apa aku harus pulang ke rumah? Apa harus? Aku bertanya-tanya sendiri bagai orang bodoh. Kalau aku pulang, belum tentu Bunda masih menganggapku sebagai anaknya. Pasti, dia menganggapku sudah mati. Tapi, kalau aku tidak pulang, aku tidak mungkin akan mendapatkan titik jawabnya.

Sudah saatnya aku harus bertanya mengenai kejelasan seseorang. Seseorang yang menghancurkan hidupku, membuatku pergi, dan berakhir sampai di rumah ini.

Akan kutanyakan kepada Kak Lucas. Batinku menguatkan keputusan yang kuambil sudah benar.

Aku melihat Kak Lucas yang sedang tiduran di kamarnya dengan tangan memegang ponsel. Waktu yang tepat. Tidak ada orang lain selain aku dan Kak Lucas. Kesempatan bagus untuk menanyakan semuanya. Aku mengetuk pintu kamar Kak Lucas.

"Kak Lucas, aku masuk, ya?" aku meminta izin kepadanya.

"Masuk aja, An. Kamu ini kaya sama siapa aja."

"Takutnya ganggu, hehehehe..."

Tangan Kak Lucas mengundangku untuk duduk di sebelahnya. Aku menurutinya, dan duduk persis di sebelahnya.

"Kamu enggak pergi, An?"

"Nanti yang jaga Kak Lucas, siapa?"

"Kakak udah gede, An. Kakak enggak bakal kenapa-kenapa cuma kamu tinggal pergi," katanya dengan santai.

"Tapi, Kak nanti kalau butuh apa-apa, gimana?"

"Teman Kakak udah Kakak suruh datang ke sini, kamu tenang aja."

"Aku mager mau keluar rumah, Kak."

"Hmmmm.. jangan mager, dong. Masih muda, loh. Kasian kedai kamu, tuh."

"Urusan kedai masih tetep aku pantau, kok. Kemarin aku habis dari sana buat cek laporan penjualan."

"Tambah ramai, ya?"

"Iya, syukurlah, Kak. Makin hari pesanan tambah banyak."

"Kakak ikut senang dengarnya, An. Kalau kamu mau ke kedai, enggak papa, An."

Aku hanya diam, berniat mengumpulkan ide-ide untuk memulai topik penting yang akan kutanyakan kepadanya.

Aku menghadap ke arahnya, dan bertanya, "Kak, anak Mamah yang udah meninggal namanya siapa?"

"Namanya Jesika, An. Jesika seumuran sama kamu, kalau dia masih hidup."

Sudah jelas. Sangat-sangat jelas. Hatiku sakit, mengetahui apa yang dahulu kulihat adalah benar Jesika. Aku masih bertahan pura-pura tidak mengetahui tentang Jesika.

"Oh, seumuran sama aku, ya."

"Iya, An. Mamah terpuruk banget waktu kehilangan dua orang sekaligus."

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang