(68) Bertanya

1.3K 114 48
                                    

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku yang masih duduk di ruang tamu dengan menggenggam ponsel, beringsut bangun. Berjalan menuju pintu dan aku membukanya.

"Halo, sayang."

"Masuk, Mas. Udah ditunggu Kak Lucas di dalam," jawabku kepadanya.

Aku mengantarkan Om Axel masuk ke kamar Kak Lucas. Kak Lucas berubah menjadi senang melihat kehadiran Om Axel.

"Maaf ya, Luc. Saya baru bisa menjenguk kamu."

"No problem, Kak. Namanya pekerjaan rumah sakit memang enggak bisa ditinggal," sahut Kak Lucas.

"Gimana keadaan kamu, Luc?" tanya Om Axel.

"Jauh lebih baik, Kak."

"Syukurlah, saya ikut senang mendengarnya," kata Om Axel.

"Pekerjaan rumah sakit selalu menumpuk ya, Kak?"

"Iya, benar. Saya sampai kewalahan mengurusnya. Tapi, kamu masih merasa ada yang sakit?"

"Sejauh ini, sakit masih terasa, Kak. Apalagi, bagian kaki. Kalau enggak sengaja bergerak, langsung kerasa."

"Semoga cepat pulih ya, Luc."

"Terima kasih, Kak."

Aku duduk di samping Om Axel yang sedang bercakap-cakap dengan Kak Lucas. Om Axel datang karena aku yang meminta. Perasaanku campur aduk masih memikirkan foto keluarga yang kutemui di gudang itu.
Suasana menjadi hening karena kami bertiga tidak ada yang membuka mulut.

"Kalau kamu mau pergi sama Kak Axel, enggak papa, An." Suara Kak Lucas memecah keheningan.

"Jangan, nanti yang jaga Kak Lucas siapa?"

"Enggak masalah, kamu pergi aja. Paling sebentar lagi Mamah pulang, kok."

Om Axel berdehem karena merasa dirinya disindir oleh Kak Lucas. Niatnya memang Om Axel mengajakku pergi, dan aku ingin menceritakan semuanya. Aku sudah tidak tahan untuk menutup sebuah fakta baru.

"Saya pergi dulu, ya. Saya pamit bawa Ana keluar," izin Om Axel.

"Iya, Kak. Hati-hati di jalan. Jangan pulang larut malam, ya."

"Siap, saya akan jaga Ana dengan baik."

Sekarang, waktunya aku untuk pamit kepada Kak Lucas. Aku mendekatkan diriku dengannya, dan mengambil tangannya.

Aku mengecup punggung tangannya dan berkata, "Kak, aku keluar dulu. Kalau ada apa-apa telepon aku, ya. Kakak mau titip apa?"

"Enggak usah. Kamu pergi aja, An. Udah sana, kasian Kak Axel udah nunggu, loh."

Sebenarnya, aku tahu apa makna di balik senyuman Kak Lucas. Bibirnya memang tersenyum, tapi sorot matanya terluka. Aku tahu betul. Tapi, apa boleh buat?

"Aku pergi ya, Kak."

"Hati-hati, An," imbuhnya sambil mengacak rambutku gemas.

Aku menghampiri Om Axel yang sudah berada di dalam mobil. Aku membuka pintu mobil dan masuk. Om Axel memasangkan sabuk pengamanku. Om Axel mulai menghidupkan mobil, dan membenarkan posisi duduknya.

"Mau pergi kemana, Nyonya?"

"Hmm.. Ke kedai kopi aja, ya?"

"Oke, Nyonya. Kita meluncur, ya."

Bibirku bergetar karena tertawa mendengarkan ucapannya. Om Axel bagaikan supir pribadiku yang melayaniku dengan baik. Selama mobil berjalan, aku lebih banyak berdiam diri. Menatap jalanan dari kaca mobil menjadi pilihanku. Banyak sekali pikiran yang memenuhi kepalaku.

[END] Apa Salahku Bun? Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang